Jumat, 26 Juni 2009

Menghidupkan Kembali Fiqh Politik

MENGHIDUPKAN KEMBALI FIQH POLITIK *)
Dr. Imam Yahya **)

(Makalah diskusi Lakpesdam 3 Juni 2009)

Perkembangan partai politik di kalangan warga NU seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Nahdlatul Ummah dalam kancah perpolitikan di Indonesia sekarang ini mengingatkan pada partai NU di tahun 1950-an. Saat itu partai NU, bersama Partai Masyumi, mempunyai peran yangsignifikan dalam konstalasi politik nasional. Meski belakangan banyak tokoh-tokohnya yang bertumbangan karena konflik internal maupun persoalan eksternal lainnya.
NU sebagai organisasi sosial, keagamaan, tokoh-tokohnya tersebar di berbagai bidang keagamaan maupun kemasyarakatan. Dalam bidang politik misalnya, tokoh-tokoh NU diharapkan mampu menggunakan perspektif NU dalam bertindak dan bertingkah laku, yakni berpolitik untuk kemaslahatan umat, atau tashorruf al-Imam ala al-Raiyyah manutun bi al-Mashlahah. Meski banyak politisi berlatar belakang agama, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung kooptatif, logika (the power of logic), seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengadian dan kejujuran.
Sepintas, argumen yang diajukan beberapa kalangan agar tokoh agama tidak berpolitik sangat luhur dan mulia. Sebagian kalangan itu sepertinya menghendaki agar kesucian, keluhuran moral, dan tugas mulia para kiai yang ada di dunia ”lain” harus tetap terjaga dari ”kubangan” politik yang penuh dengan kenistaan.
Namun, berpolitik dan berdakwah bagi tokoh agama, bagaikan dua sisi mata uang. Berdakwah dan berpolitik sama-sama pentingnya. Sejarah politik Islam memberikan pelajaran kepada kita, ketika Nabi wafat pertama muncul adalah persoalan politis, yakni soal pengangkatan wakil pemimpin Negara Madinah pasca Nabi. Namun dengan semangat kebersamaan, tokoh-tokoh politik kelompok Anshar harus menerima pengangkatan Abu Bakar yang muhajirin untuk memimpin negara Madinah pasca Nabi.
Dengan paradigma tokoh-tokoh anshar di atas, berpolitik atau masuk ke salah satu parpol, diharapkan bisa menyuarakan kebenaran. Inilah mungkin prinsip-prinsip yang dipraktekkan Rasulullah SAW selama memimpin komunitas muslim di Madinah,bisa menjadi semangat berpolitik para tokoh agama.
Tentu benar bahwa ketika para Kyai berpolitik, maka akan muncul permasalahan, biak berkaitan dengan penggunaan otoritas dan penggunaan egitimasi, maupum pada substansi ketelibatan tokoh agama dalam politik praktis. Para Kyai harus melakukan perannya sesuai dengan posisi dan kedudukannya di partai politik dimanapun berada.
Peran itu berupa tugas pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai pewaris Nabi. Peran itu biasa disebut dengan ’amar ma’ruf nahi munkar, seperti (a) mendidik umat di bidang agama dan lainnya, (b) melakukan kontrol terhadap masyarakat, (c) memecahkan problem yang terjadi di masyarakat, (d) menjadi agen perubahan sosial. Kesemua tugas itulah yang menuntut bagi aktifis politik untuk dijalankan oleh para ulama sepanjang kehidupannya.
Tak berlebihan bila Imam Al- Mawardi dalam bukunya Al-Ahkam al-Sulthaniyyah menyatakan bahwa berpolitik berarti siyasatu al-dunya wa harasat al-diin (mengatur persoalan keduniawian dan mempersiapkan sangu akhirat). Begitupun juga ungkapan KH Wahab Hasbullah bahwa berpolitik harus betul-betul serius jangan sepotong-potong kecuali kondisi tidak menentu, ma la yudroku kulluh la yutroku kulluh.

Pengalaman Politik NU
Sejarah mencatat, kiprah Nahdlatul Ulama (NU) dalam perpolitikan bangsa cukup diperhitungkan dan disegani karena kekuatannya yang sangat besar, terlebih ketika NU tampil sebagai partai politik yang berdiri pada tahun 1952-1973.
Persoalan muncul ketika Pemilu 1971 Golkar menang mutlak dengan perolehan suara 62,80 % atau 236 kursi dari keseluruhan kursi DPR ditambah kursi Karya ABRI dan non-ABRI yang diangkat. Dengan mengantongi 336 kursi dari keseluruhan kursi yang berjumlah 460 di DPR, maka Golkar memiliki suara mayoritas mutlak. Sedangkan suara partai-partai Islam (kalaupun digabung) hanya mencapai 20,3 % atau 94 kursi. Dari 94 kursi tersebut, 58 kursi ( 61, 7 %) adalah milik NU ( M. Ali Haidar : 1994)
Kondisi ini mengakibatkan posisi tawar kelompok Islam dalam DPR sangat lemah. Sampai akhirnya, pada 5 Januari 1973 keempat partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) sepakat melakukan fusi. Maka lahirlah partai politik baru yang menyatukan keempat partai Islam tersebut, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Keterlibatan NU dalam kancah politik yang dirasa sudah terlalu jauh, ditambah lagi munculnya konfrontasi antara NU dengan kelompok lain di PPP, membuat NU harus instropeksi diri. Puncaknya, pada Muktamar XXVII tahun 1984 di Situbondo NU memutuskan kembali ke Khittah 1926, sebagai organisasi sosial keagamaan.
Di tahun 1998, ketika lahir era reformasi, naluri tokoh-tokoh NU untuk berpolitik praktis kembali bangkit. Tetapi karena ada rambu kembali ke Khittah, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan kawan-kawan mengambil jalan keluar dengan mendeklarasikan partai baru yang secara organisatoris terlepas dari NU, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sejak kelahirannya pada 23 Juli 1998, ternyata PKB belum mampu secara maksimal menjadi rumah politik yang nyaman bagi warga NU. Indikasi ini bisa dilihat dari realitas internal partai yang selalu memunculkan konflik bahkan sampai pada fase pertentangan yang akut, yaitu perpecahan. Diawali dipecatnya Matori Abdul Djalil dari kepengurusan PKB, yang akhirnya membentuk partai sendiri dengan nama Partai Kejayaan Demokrasi (PKD).
Kemudian di penghujung 2006, sejumlah kyai PKB pun mengambil sikap mufaraqah (memisahkan diri/keluar) dan membentuk partai baru : Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), yang berasaskan Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Rivalitas Kyai
Kondisi demikian memaksa politisi NU – yang sebagian besar adalah kyai – untuk saling berseteru secara berkelanjutan. Rivalitas para kyai ini, disadari atau tidak, sebetulnya sangat tidak menguntungkan bagi masa depan NU sebagai jama’ah, maupun nahdlah. Memang, konflik adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam politik, bahkan bisa disebut esensi politik.
Memang, konflik dapat jugaberfungsi sebagai pengintegrasi masyarakat dan sumber transformasi. Namun, sebagaimana kita lihat, konflik dalam tubuh NU (tepatnya politisi NU) cenderung mengarah pada terciptanya kubu-kubu yang terlibat pada ketegangan yang tentunya potensial melahirkan perpecahan.
Fenomena inilah yang kemudian melahirkan pertanyaan besar, sejatinya untuk siapa politik yang mereka mainkan? Rakyatkah (nahdliyyin) atau interes politik pribadi? Apakah mereka benar-benar masuk ke dalam ruang politik dengan membawa misi ke-NU-an, amar ma’ruf nahi munkar?

Renungan
Pertama, esensi Khittah 1926 adalah perjuangan untuk rakyat (utamanya nahdliyyin) menyejahterakan, mengangkat derajat, memperbaiki mutu pendidikan, dan sebagainya. Penuntasan program-program sosial keagamaan inilah yang mendesak diprioritaskan ketimbang agenda-agenda politik (kekuasaan) yang (hanya) menguntungkan segelintir orang.
Pasca kembali ke Khittah, NU tidak ke mana-mana tetapi ada di mana-mana. NU bukan PKB, bukan PKNU, bukan PPP, dan bukan yang lainnya. NU adalah surga bagi siapa saja yang berkomitmen pada persoalan keagamaan dan kemasyarakatan tanpa tendensi materi maupun kekuasaan. NU adalah rumah yang menyejukkan dan peduli pada persoalan keumatan.
Kedua, di tengah konflik intern, masyarakat NU tentulah sangat mengidamkan kesejukkan. Dan itu hanya mereka dapati pada figur teduh yang berjuluk Kyai. Sayangnya, fakta memperlihatkan betapa kyai (yang berpolitik praktis-red) sendiri pun tidak bisa menjamin lahirnya kesejukan. Pasalnya, kelembutan dan kesejukan telah tergadaikan dengan dunia politik yang sarat tendesi dan kekerasan.

*******************************

*) Disampaikan pada acara diskusi bulanan PW Lakpesdam NU Jateng, Rabu 3 Juni 2009.

**) Mantan Ketua PW Lakpesdam NU Jateng, Dosen IAIN Walisongo Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar