Senin, 27 April 2009

"Menggugat Otoritarianisme Fatwa"

MENGGUGAT OTORITARIANISME FATWA:
PEMBACAAN TERHADAP FATWA DALAM KITAB BUGHYAT AL-MUSTARSYIDIN [1]
Oleh Dr. HM. Mohamad Arja Imroni

Disampaikan dalam Diskusi Rutin PW Lakpesdam NU Jateng 1 April 2009

I. KONSEP DASAR MUFTI DAN FATWA
Konsep dasar fatwa sangat berkaitan erat dengan beberapa kata derivasinya yaitu; iftâ’, muftî, mustaftî dan al-mustaftâ fîh. Fatwa (plural: fatâwâ) adalah jawaban dari masalah-masalah syar’iyyah dan qanuniyyah (perundang-undangan) yang pelik. Aktifitas memberi fatwa disebut dengan al-iftâ. Orang yang memberi fatwa disebut mufti (plural: muftûn).[2] Orang yang meminta fatwa (karena tidak mampu berijtihad ) disebut dengan mustaftî, sedangkan yang dimaksud dengan al-mustaftâ fîh adalah permasalahan-permasalahan dhanniyah yang dimintakan fatwa tentang hukumnya. Dalam pengertian yang bersifat teknis, al-Zuhaili memberikan pengertian mufti sebagai seorang ahli fiqh (faqîh) atau mujtahid yang telah memenuhi beberapa persyaratan untuk mengeluarkan fatwa. Mufti meliputi setiap orang yang memiliki keahlian istidlâl dan istinbâth dan orang yang ahli dalam melakukan tarjîh dan takhrîj.[3]
Abu Zahrah membedakan pengertian iftâ dari ijtihad. Iftâ’ bersifat lebih khusus daripada ijtihad. Ijtihad merupakan proses mengeluarkan hukum dari dalilnya (istinbath) baik ada maupun tidak adanya pertanyaan. Adapun iftâ’ tidak dilakukan kecuali bila ada suatu peristiwa yang terjadi, dan ditanyakan kepada seorang faqîh.[4]
Orang yang memberikan penyelesaian persoalan hukum, dalam hazanah hukum Islam, selain mufti terdapat juga qadhi. Qadhi memainkan peranan yang lebih formal, pendapatnya menjadi putusan hukum yang bersifat mengikat, mendapat dukungan penguatan (enforcement) dari negara, atau dapat disepadankan dengan hakim dalam pengadilan. Sedangkan pendapat hukum mufti bukan merupakan putusan hukum yang mengikat kepada orang yang bertanya (mustafti) baik yang berhubungan dengan persoalan litigasi maupun non-litigasi karena mufti bukan merupakan bagian dari pengadilan resmi. Namun demikian, meskipun keduanya memiliki perbedaan, tetapi sebenarnya keduanya merupakan pihak yang memiliki spesialisasi menjawab dan menyelesaikan konflik sehari-hari maupun pertanyaan / persoalan hukum yang berhubungan dengan syari’ah.[5]
Khalid Mas’ud melaporkan bahwa aktivitas memberikan fatwa hukum pada mulanya lebih banyak dimunculkan oleh ulama secara personal, independen dari kontrol negara. Ulama yang mengeluarkan fatwa adalah orang yang secara personal diakui memenuhi standar keilmuan (knowledge) dan ketaqwaan / keasalehan (piety). Pada perjalanan sejarah selanjutnya, beberapa mufti menjadi anggota administrasi peradilan dan aktivitas pemberian fatwa bersifat umum dan resmi. Pada masa Umayyah (661-750 M) mufti mulai melayani konsultasi hukum para qadhi dan mengeluarkan fatwa bila diminta oleh para gubernur.[6]
Dalam proses perkembangan terkini, fatwa lebih banyak muncul dari lembaga-lembaga fatwa hukum Islam yang memberikan fatwa secara institusional. Untuk menyebut beberapa contoh antara lain; Dâr al-Iftâ’ (Lembaga Fatwa) yang bermarkas di Mesir, al-Lajnah al-Dâ’imah li al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ’ (Lembaga Pengkajian Ilmiah dan Fatwa) sebuah lembaga resmi di Arab Saudi yang diberi kepercayaan untuk mengeluarkan fatwa, Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI), Dewan Hisbah Persis, Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Forum Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama (NU).
Para ahli hukum Islam telah menentukan beberapa persyaratan untuk seseorang yang dapat dianggap memiliki otoritas untuk memberikan fatwa. Para mufti, selain harus memenuhi persyaratan, juga harus memiliki beberapa kriteria tambahan yakni; mengetahui peristiwa yang dimintakan fatwa kepadanya, mempelajari psikologi mustafti dan kondisi masyarakat dimana mustafti tadi hidup.[7]
Mufti, selain harus memiliki perangkat ilmu utama seperti bahasa Arab, al-Qur’an, ulum al-qur’an, hadits, ulum al-hadits, Ushûl al-fiqh, fiqh, tafsir, mengetahui ijma’ ulama’ dan sebagainya, ia harus memahami seperangkat ilmu bantu yaitu ilmu-ilmu sosial seperti; psikologi, sosiologi dan sebagainya. Demikian pengertian yang dapat ditangkap dari apa yang dikatakan Abu Zahrah.
Sejauh mengenai persyaratan seorang mufti, penting kiranya menyimak kata-kata Imam Ahmad bin Hanbal yang dikutip oleh Abu Zahrah :
“Seseorang tidak layak untuk menempatkan dirinya sebagai pemberi fatwa sehingga ia memiliki lima hal ; pertama niyat yang baik, tanpa adanya niyat yang baik maka tak akan ada nur (cahaya), kedua memiliki ilmu yang cukup, lapang dada, dan ketenangan, ketiga, memiliki kekuatan untuk mempertahankan pendapatnya dan pengetahuannya, keempat, memiliki kecukupan, kelima, memahami manusia.”[8]
Menurut hemat penulis, persyaratan itu tidak berlebihan karena dengan tujuan untuk menghindari kecerobohan dalam memutuskan suatu persoalan hukum. Setidaknya, seperangkat ilmu utama dan ilmu bantu itu dapat memberikan penjelasan yang lebih komprehensip terhadap latar belakang suatu fatwa. Karena, meskipun fatwa tidak memiliki kekuatan memaksa kepada siapapun, tetapi dalam realitasnya fatwa memiliki pengaruh kuat terhadap masyarakat muslim dalam mensikapi suatu peristiwa.

II. APA ITU OTORITARIANISME?

Otoritarianisme (authoritarianism) berasal otoritarian (authoritarian) yang berarti sifat menganut paham kepatuhan mutlak kepada seseorang.[9] Paham seperti itu menyelipkan makna terjadinya kesewenang-wenangan dari orang yang bertindak otoriter. Dalam tulisan ini, konsep otoritarianisme yang dimaksudkan adalah merujuk pada konsep yang diintrodusir oleh Khaled Abou al-Fadl.[10] Seseorang yang mendekati teks yang otoritatif (al-Qur`an dan al-Sunnah) dapat dikategorikan melakukan tindakan “otoritarianisme” jika ia telah “merasa” menyatu dengan teks tersebut dan kemudian menyatakan suatu ketetapan makna yang tertutup dari pembacaan lain.[11] Dalam ungkapan lain, jika seseorang dalam penetapan makna suatu teks membatasi ketidaktetapan maknanya atau membatasi ketergantungan terhadap maksud pengarang sebagai sumber makna, maka hal itu dapat disebut sebagai bentuk otoritarianisme. Selain itu, bahwa penolakan terhadap kemungkinan adanya interpretasi yang melibatkan pengaruh dan unsur-unsur luar dan kegigihan mempertahankan interpretasi yang tidak memasukkan unsur dari luar juga dapat dipandang sebagai otoritarianisme.[12] Jika seorang mufti melakukan pembacaan secara otoriter terhadap teks maka akan melahirkan suatu fatwa yang otoriter (sewenang-wenang). Fatwa Otoriter harus dibedakan dengan fatwa yang otoritatif, artinya fatwa yang memang lahir dari hasil pemikiran para mufti yang memiliki otoritas penuh untuk melakukannya. Disebut fatwa yang otoritatif jika lahir dari mufti yang memiliki otoritas yang melandasi diri dengan :kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan, dan rasionalitas.[13]
Menurut hemat penulis, untuk menilai apakah suatu fatwa memiliki karakter otoriter atau otoritatif, selain melihat pada ranah landasan epistemologisnya juga melihat pada aspek-aspek historis maupun sosiologis. Dalam kerangka itu kita akan menilai beberapa contoh fatwa dalam bughyat al-mustarsyidin.

III. MEMBACA KECENDERUNGAN OTORITARIANISME FATWA DALAM BUGHYAH.
Berikut analisis terhadap dua contoh fatwa yang terdapat dalam bughyah untuk mengetahui kecenderungan otoritarianisme tadi.
1. Fatwa “Tertutupnya Pintu Ijtihad”.
Salah satu fatwa yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah fatwa tentang tertutupnya pintu ijtihad. Berikut pernyataan shahib al-bughyah ( pengarang kitab bughyah ):
“istimbat al-ahkam dari al-Kitab maupun al-Sunnah (secara langsung –pen.) sebagaimana yang telah dilakukan oleh para mujtahid mutlaq telah terhenti. Pendapat al-Suyuthi bahwa ijtihad seperti itu masih berlaku hingga akhir jaman karena berpegang pada hadits “sesungguhnya Allah akan mengutus orang yang kan memperbaharui agamaNya dalam setiap seratus tahun”. Pendapat seperti itu tertolak karena yang dimaksud dengan orang yang memperbaharui agamaNya adalah orang yang menetapkan syari’at dan hukum bukan mujtahid mutlaq. Jikalau ada orang yang berani mengklaim dirinya melakukan ijtihad, ia harus segera kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan pendapat yang batil itu”[14]
Kemudian ia mengutip Ibnu Shalah, bahwa taqlid kepada selain Imam yang empat (Abû Hanifah. Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal –pen.) tidak diperbolehkan meskipun hanya untuk diamalkan sendiri, apalagi untuk memutuskan perkara di pengadilan (qadha’). Argumentasi yang dikemukakan adalah bahwa selain madhhab yang empat, seperti madhhab Zaidiyyah yang dinisbatkan pada Imam Zaid bin Ali bin al-Husain, walaupun Zaid adalah seorang imam tetapi ia banyak melakukan tasahul (negligence: sembrono, alpa) dalam banyak hal. Tidak demikian halnya dengan Imam-Imam madhhab yang empat, mereka benar-benar mengerahkan semua kemampuannya dalam menuliskan pendapat mereka sehingga terbebas dari kesalahan karena mereka mengetahui yang sahih dan yang da’if.[15]

Kutipan fatwa di atas mengandung dua pokok permasalahan yang difatwakan; pertama, tentang terputusnya hak untuk berijtihad setelah masa keemasan sejarah hukum Islam; kedua, sebagai akibatnya setiap muslim hanya boleh ber-taqlid kepada salah satu diantar empat madhhab sunni ( madhhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali )
Pada pokok masalah yang pertama, secara sekilas memberikan kesan bahwa hukum Islam telah menjadi benda mati yang tidak dapat berkembang lagi. Penegasan bughyah atas terhenti dan ketiadaan hak bagi siapapun untuk merumuskan kembali hukum Islam dalam konteks kekinian menjadi pemicu adanya kejumudan dalam pemikiran hukum Islam.
Dalam perspektif historis, fatwa ini bukan merupakan produk hukum yang tiba-tiba, melainkan sebuah titik dari serangkaian kondisi intelektualitas pada masanya. Menurut sejarawan, proses pembentukan Hukum Islam (formative periode) telah berakhir sekitar akhir abad ke-3 H (abad ke-9 M). Setelah itu yang terjadi adalah “tertutupnya pintu ijtihad” (insidad bab al-ijtihad). Anggapan itu setidaknya diwakili oleh Joseph Schacht yang mengatakan:
“pada awal abad ke-4 H, satu titik telah tercapai dimana para ‘ulama madhhab merasa bahwa persoalan (hukum) yang penting telah dibahas dan telah ditetapkan semuanya. Suatu konsensus secara garis besar telah menetapkan suatu pengaruh bahwa sejak masa itu dan seterusnya tak ada seorangpun yang dapat dianggap mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad. Aktivitas masa selanjutnya hanyalah memberikan penjelasan-penjelasan (sharh), penerapan-penerapan (hukum), dan paling banter hanyalah melakukan interpretasi terhadap doktrin yang telah ditetapkan sebelumnya. Penutupan pintu ijtihad (the closing of the door of ijtihad) kemudian lebih menuntut sikap taqlid”.[16]

Klaim atas tertutupnya pintu ijtihad itu dalam realitas sejarah sebenarnya tidak terbukti. Setidaknya kita dapat melihat pada temuan fakta yang diungkapkan oleh Waell B. Hallaq[17]:
“studi yang sistematis dan kronologis terhadap sumber-sumber hukum yang orisinil menunjukkan bahwa pandangan yang mengatakan pintu ijtihad telah tertutup adalah tidak berdasar dan tidak akurat.”
Dari hasil studinya, ia berkesimpulan bahwa; pertama, ahli-ahli hukum (jurists) yang mampu berijtihad masih ada pada setiap masa. Kedua, Ijtihad juga tetap dipakai dalam pengembangan hukum Islam setelah masa pembentukan madhhab-madhhab. Namun, studi ini juga telah membuktikan bahwa orang-orang / kelompok yang menentang “tertutupnya pintu ijtihad” akhirnya dikeluarkan dari kelompok sunni”.[18]
Poin terakhir dari apa yang diungkapkan oleh Hallaq patut untuk digaris bawahi, orang-orang / kelompok yang menentang “tertutupnya pintu ijtihad” akhirnya dikeluarkan dari kelompok sunni”. Jika temuan Hallaq ini benar, maka dapat dipastikan bahwa diskursus “tertutupnya pintu ijtihad” sebenarnya bukan sekedar proses historis yang menampilkan gejala kejumudan intelektual yang alamiah melainkan telah menjadi idiologi intelektual kaum sunni. Idiologi ini telah menghegemoni kesadaran para ulama’ sunni pada masa itu, sehingga mengalahkan otoritas sunnah Nabi yang menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad, seorang yang akan melakukan pembaruan agamaNya”.[19]
Meminjam teori Pierre Bordieu[20], idiologisasi wacana merupakan proses yang melekat pada semua bentuk pemikiran yang melibatkan diri si pembicara untuk memihak. Pemihakan itu dilakukan dengan menyembunyikan kenyataan-kenyataan historis yang benar-benar dihayati oleh umat Islam yaitu dalam hal ini pentingnya melakukan pembaharuan yang meniscayakan ijtihad. Akibat yang sangat penting dari idiologisasi wacana ini adalah terjadinya kekerasan simbolik dalam dunia intelektual.
Wujud dari kekerasan simbolik itu adalah pada otoritarianisme fatwa bughyah yang menutup kemungkinan terjadinya pemahaman ulang terhadap syari’at padahal sunnah Nabi tadi sebenarnya telah memberikan kemungkinan terjadinya pembaharuan (tajdid) pemahaman dalam agama termasuk dalam ranah hukum Islam. Pembaharuan itu tentu saja meniscayakan adanya ijtihad dari masa ke masa.
Mengenai hadits tadi, meskipun para ulama’ memperselisihkan makna 'ala ra'si kulli mi'ati sanah, apakah harus pada awal atau akhir suatu abad dalam kaitannya dengan kemunculan mujaddid,[21] yang pasti hadits tadi mempertegas pentingnya tajdid dan ijtihad, dan merupakan landasan teologis-normatif yang eksplisit untuk keduanya. Dari hadits tersebut Al-Maududi [22] maupun al-So'idi [23] berpandangan sama tentang tidak adanya batasan jumlah mujaddid yang muncul dalam setiap abad. Pandangan ini didasarkan pada pendekatan bahasa bahwa kata man (dalam bahasa Arab) digunakan untuk menyebut satuan maupun jamak. Pandangan seperti itu mengindikasikan bahwa gerakan tajdid dapat dimotori oleh mujaddid secara individual maupun kelompok orang atau organisasi.
Sampai di sini, dapat dikatakan bahwa hadits Abû Dawud tersebut secara tegas memberikan legitimasi teologis terhadap keabsahan untuk melakukan pembaruan pemahaman ajaran Islam dalam upaya mengimplementasikannya sesuai tuntutan perkembangan jaman. Walaupun hadits tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda tetapi kandungan dasar di dalamnya adalah tetap konstan. Artinya, hadits tersebut dapat dipahami sebagai isyarat bahwa masyarakat muslim secara bertahap dalam setiap kurun waktu seratus tahun dianggap telah melakukan penyimpangan-penyimpangan dan meninggalkan jalan yang telah diterapkan oleh al-Qur'an dan al-Sunnah sehingga diperlukan kehadiran mujaddid untuk mengusahakan suatu kelahiran kembali semangat Islam yang segar. Hal ini sejalan dengan tesis John O. Voll yang mengklaim bahwa tajdid bisa jadi sebagai jawaban terhadap rusaknya kehidupan beragama.[24]
Jadi cara penyegaran pemahaman beragama yang merupakan salah satu aspek pembaruan itu memiliki dimensi moral yang mendasar karena dalam pengertian tertentu ia didasari oleh pengetahuan tentang pencarian kehendak ilahi yaitu bertitik tolak dari patokan baku yang diyakini akan tetap ada dalam suatu bentuk yang tak pernah berubah; al-Qur'an dan al-Sunnah.
Ditinjau dari sudut epistemologis, proses pemahaman ulang terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi baru, hakekatnya merupakan proses negosiasi makna oleh pembaca terhadap teks. Lebih dari itu, pembaharuan pemahaman yang mengharuskan ijtihad juga merupakan konsekwensi logis dari karakteristik ajaran Islam yang universal (syumul). Universalitas ini sesuai dengan misinya sebagai rahmat bagi seluruh alam dan seisinya sebagaimana firman Allah, "Dan tidaklah Kami mengutus Engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam".[25]
Menurut hemat penulis, dalam pokok masalah yang kedua, yaitu bahwa setiap muslim harus ber-taqlid kepada para imam yang empat mencerminkan hasrat kuat untuk mewujudkan ortodoksi hukum Islam. Dengan teori naqd al-nash (kritik teks), fatwa ini harus diposisikan dalam proses dialektika wacana. Di samping secara epistemologis tidak ada argumentasi yang mempunyai kekuatan ilmiah karena tidak didukung oleh dasar-dasar otoritatif yang memperkuatnya yang oleh karenanya masih harus dilakukan uji verifikasi terhadap pendapat tersebut, fatwa itu dengan semua lingkar konsentriknya sangat jelas memberikan pesan adanya pertarungan simbolik antara orto-doxa dan hetero-doxa.
Lagi-lagi meminjam Bourdieu [26], ortodoxa adalah simbol dari wacana dominan (yaitu empat madhhab sunni) dan heterodoxa adalah simbol dari wacana marginal (di luar wacana dominan) yang memiliki potensi bertentangan dengan doxa yang telah menghegemoni nalar sehingga diterima sebagai kebenaran dan tak pernah lagi dipertanyakan lagi sebab-sebabnya apalagi kebenarannya. Antara dua wacana itu (wacana dominan dan wacana marjinal) selalu terjadi pertarungan simbolik yang tak pernah berakhir. Wacana dominan selalu berusaha mempertahankan kekuasaannya yaitu dominasinya terhadap massa sedangkan wacana marginal selalu memperjuangkan diri untuk mengetengah bahkan menghancurkan tatanan doxa dan siap mengambil posisinya.
Dengan melakukan kritik teks sekaligus menggabungkannya dengan teori konflik simbolik, dapat direkonstruksi pertarungan simbolik di balik fatwa tadi. Di wilayah Hadramaut yang penduduknya dominan bermadhhab sunni –khususnya Syafi’iyyah— telah menciptakan struktur keberagamaan yang menguntungkan para tokoh agamanya (ulama). Ulama’ yang diuntungkan secara struktural dapat dipastikan akan mempertahankan status-quo dengan memproteksi simbol-simbol keberagamaan ortodoks sunni dari invasi simbolik di luar main-stream.
Dalam perspekstif lain fatwa mengenai “tertutupnya pintu ijtihad” dapat dianggap sebagai salah satu penyebab penting terjadinya involusi [27] fiqh (hukum Islam). Ketiadaan ijtihad memunculkan tradisi penulisan dalam bidang fiqh yang berkisar antara aktivitas memberi syarh (pembabaran) dan aktivitas sebaliknya, menulis mukhtashar (ringkasan). Ukuran kesempurnaan penguasaan ilmu adalah pada buku-buku lama yang dianggap telah memiliki standar (mu’tabar) bukan pada pengembangan ilmu dan orang tidak berani berpikir independen dan melepaskan diri dari otoritas. Dengan demikian, perkembangan hukum Islam seperti jalan di tempat.
Memang harus disadari bahwa kemungkinan fatwa tertutupnya pintu ijtihad muncul karena didorong oleh kehawatiran terhadap masuknya orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid padahal mereka sebenernya tidak memiliki kualifikasi mujtahid. Namun, kehawatiran seperti ini terlalu berlebihan. Justru dengan fatwa tertutupnya pintu ijtihad berarti sama dengan mengharamkan orang-orang yang mampu untuk berijtihad, sehingga masalah-masalah yang muncul tidak dapat diselesaikan hingga akar-akarnya.
Oleh karena itu, sikap yang terbaik dalam konteks ini menurut Yusuf al-Qardhawi adalah dengan membuat garis yang benar. Sekarang sudah tidak mungkin lagi untuk menutup pintu ijtihad. Namun demikian seorang yang berijtihad pada saat ini harus berpegang pada kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang mengatur jalan, tujuan dan menetapkan metodenya sehingga tidak terlalu ekstrim, akan tetapi berupaya meraih manhaj yang moderat untuk kepentingan ummat yang memang menyandang gelar moderat (ummatan wasatha).[28]

2. Fatwa tentang “Pernikahan Syarîfah”
Syarîfah merupakan sebutan simbolik yang berkonotasi superior untuk anak perempuan dari garis laki-laki yang memiliki hubungan darah hingga Nabi Muhammad Saw. Sedangkan anak laki-laki disebut dengan syarif , sayyid atau habib.[29]
Fatwa yang cukup unik sekitar pernikahan golongan ini dalam bughyah adalah sebagai berikut: [30]

“ Seorang syarîfah yang dilamar oleh seorang yang bukan syarif menurut pendapatku tidak boleh untuk menikah meskipun syarifah maupun wali-nya rela ( ridho ) karena nasab yang benar-benar mulia ini tidak terbandingi. Setiap keturunan al-Zahra’ ( Fatimah al-Zahra’ –pen.) baik (kerabat) dekat maupun jauh memiliki hak untuk diminta ridhonya (dalam hal syarifah menikah dengan selain syarif –pen.). Pernah terjadi suatu kasus di Makkah al-Mukarramah, seorang laki-laki Arab ( bukan syarif ) menikah dengan seorang syarifah. Para sayyid yang didukung oleh para ulama di sana memaksa laki-laki tersebut untuk menceraikannya. Kasus yang sama terjadi pula di wilayah-wilayah lain. Para syarif banyak menulis tentang ketidak bolahan perkawinan semacam itu, bahkan merebut dengan paksa syarîfah ( yang telah dinikahi oleh laki-laki non-syarif –pen.) dengan alasan melindungi nasab dari kehinaan dan kenistaan.

Selanjutnya Shâhib al-Bughyah mengkritik para fuqaha’ yang menganggap sah perkawinan semacam itu dengan syarat adanya ridho dari syarifah dan walinya. Ia menganggap bahwa para fuqaha’ tidak bisa menagkap dan mengerti tentang rahasia-rahasia yang ada di balik pelarangan pernikahan semacam itu.

Beberapa poin yang penting dicermati dalam fatwa tadi sebagai berikut :
a. Shahib al-bughyah mendikhotomikan “kelas” manusia berdasarkan nasab : syarif – non syarif ( feminin : syarifah – non syarifah ).
b. Seorang laki-laki non-syarif tidak boleh menikahi wanita syarifah dengan alasan utama menjaga kemuliaan nasab agar terjaga dari kehinaan dan kerendahan. Sebaliknya seorang syarif boleh menikah dengan perempuan manapun baiuk dari golongan syarifah maupun non-syarifah.
c. Komunitas syarif dapat memiliki hak untuk menceraikan secara paksa bila terjadi pernikahan antara syarifah dan non-syarif.

Teks fatwa tadi sebenarnya merupakan akumulasi dari beberapa hal yang melatarbelakanginya dan menjadi basis nilainya. Kita dapat menganalisis beberapa hal penting berikut.
Secara terus terang harus dikatakan bahwa basis epistemologi fatwa ini sangat lemah. Epitemologi hukum Islam dalam fatwa ini dibangun berdasarkan angan-angan tentang rahasia yang terkandung dalam pelarangan pernikahan syarifah dengan non-syarif. Argumentasi kemuliaan nasab yang menjadi dasar utama “pengharaman” pernikahan itu merupakan wujud dari otoritarianisme penafsiran terhadap teks-teks agama. Para syarif sering berargumentasi tentang kemuliaan dan kesucian nasab dengan mengambil QS. al-Ahzab :33.[31] Penafsiran dan pemahaman atas ayat ini telah mengalahkan otoritas teks ayat itu sendiri.
Dengan upaya pemahaman yang lebih komprehensip, keseluruhan ayat yang berbicara tentang konsep manusia, tidak ada satupun ayat yang meligitimasi adanya superioritas ras, suku, bangsa atau kelompok tertentu. Nilai lebih akan diberikan kepada manusia hanya karena kesalehan atau ketaqwaan.(QS. Al-Hujurat : 13). Kisah-kisah tentang sejarah anak manusia yang disajikan oleh al-Qur’an memberikan inspirasi terhadap kesamaan nilai-nilai humanistik. Kan’an, meskipun secara genealogi-biologis adalah putra Nabi Nuh, tidak diberi prevelege apapun oleh karena tidak memiliki human-quality menurut standar syari’at. (QS.Hud : 40 – 47). Tulisan ini tidak akan berdiskusi tentang tafsir, tetapi setidaknya diskusi yang sedikit ini menjadi kunci pembuka simpul otoritarianisme interpretasi yang berakibat pada suburnya feodalisme sosial paling tidak dalam kasus ini. Jadi singkatnya, interpretasi simbol agama menjadi penyokong tradisi.
Bagaimanapun, harus diakui bahwa apa yang mereka lakukan adalah bagian dari dinamika interaksi manusia dengan simbol-simbol agamanya. Menurut Turner [32], karakteristik simbol antara lain adalah multivokal dan polarisasi. Multivokal artinya menunjuk pada banyak arti. Disebabkan mengandung banyak arti maka simbol menjadi sangat mungkin memiliki multi-interpretasi bahkan dalam batas-batas tertentu mengalami pertentangan arti. Inilah yang dimaksud dengan polarisasi simbol, karena pada hakekatnya simbol bersifat arbriter. [33]
Berkaitan dengan persoalan perkawinan, agama Islam yang dianut para orang Arab telah menyediakan banyak simbol. Jadi, tradisi pemilihan jodoh dalam perkawinan yang bersifat diskriminatif itu juga menjadi faktor memiliki dependensi pada pilihan-pilihan simbol yang digunakan untuk melegitimasinya. Para syarif dan non-syarif atau siapapun berkedudukan sama dalam menentukan pilihan-pilihan simbol untuk selanjutnya menginterpretasikannya. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah ketika interpretasi telah menjadi idiologi !.
Idiologisasi ini sangat mungkin terjadi karena agama menyediakan system simbolis yang dapat digunakan sebagai pembenar dalam pembentukan nilai-nilai religius[34]. Namun demikian idiologisasi ini hanya akan terjadi sepanjang para pembentuk tafsir bersikeras menggunakannya untuk mempertahankan eksistensi individu dan kelompok sosialnya, dan ini yang terjadi pada komunitas Arab.
Dalam kacamata sosisologi, kelompok syarif sebagai sebuah sub-struktur sosial telah “mendefinisikan” dirinya dengan kesadaran yang penuh sebagai kelompok yang secara struktur lebih tinggi dari yang lain dan secara terus terang mengkonstruksi intern komunitas Arab dalam herarki kelas yang feodalistik atas dasar superioritas genealogi-biologis ( nasab ).
Parahnya, pendefinisian struktur dan kelas yang secara sadar itu dilegitimasi oleh simbol-simbol agama yang ditafsirkan secara otoriter dan terkadang tanpa didukung oleh otoritas yang memadai. Simbol-simbol agama yang berupa teks-teks sakral atau tepatnya interpretasi-interpretasi otoriter itu menjadi penyokong lestarinya tradisi yang memunculkan tindakan sosial yang diskrimantif. Inilah sebenarnya yang menjadi basis nilai dalam tradisi perkawinan komunitas Arab kelompok syarif yang menjadi persoalan penting untuk di diskusikan secara intens.
Adanya upaya pengerahan legitimasi simbol agama terhadap tradisi ini semakin meneguhkan asumsi bahwa sistem pernikahan syarîfah yang tertutup itu, merupakan bias dari subjektifitas penafsiran mereka terhadap simbol-simbol keagamaan yang mewujud dalam teks-teks ayat maupun hadits nabi saw.
Dalam perspektif lain perkawinan itu merupakan simbol dari pernyataan “identitas-komunal” yang meniscayakan adanya politik-identitas. Itulah yang oleh Barth [35] disebut sebagai teori batas-etnis. Sangat boleh jadi, sistem perkawinan etnis Arab tadi merupakan perwujudan dari upaya pembatasan otoritas etnisnya dari intervensi dan pengaruh etnis lainnya.
Politik identitas merupakan idiom yang menjiwai tradisi perkawinan komunitas Arab sekaligus melengkapi basis nilainya. Menurut Barth setiap kategori etnis dapat dihubungkan dengan berbagai standar nilai.[36] Makin besar perbedaan antara nilai standar itu, maka tingkat pembatasan kelompok etnik akan semakin tegas dan jelas. Dalam kerangka inilah komunitas syarif melestarikan tradisi perkawinan yang tertutup (endogamy). Dengan demikian, ditinjau dari kacamata sosial, kelompok syarif sebagai entitas etnik dapat dipandang sebagai suatu sebuah sitem tata-sosial yang otonom.
Otonomi tata-sosial itu semakin menguat ketika individu-individu dalam komunitas itu selalu berusaha membatasi diri untuk tidak berprilaku menyimpang –lagi-lagi dengan penuh kesadaran -- karena khawatir perilaku itu akan merusak citra identitas kelompoknya.
Dengan tata-sosial otonom yang dipelihara oleh komunitas Arab syarif, setiap anggota kelompoknya berusaha mempertahankan identitas etniknya. Dalam sistem semacam itu, hukuman bagi seorang yang melanggar nilai-nilai etnik akan datang tidak hanya dari lingkungan sosialnya yang terkecil, keluarga melainkan juga dari dalam kelompok yang lebih luas, yaitu komunitas syarif secara makro.
Latar belakang yang terpenting dari fatwa itu adalah sistem kekerabatan para syarif dan masyarakat Arab pada umumnya yang patrilinial. Artinya, kekerabatan melalui garis keturunan (geneologi) laki-laki. Keberadaan seseorang dalam komunitas dilihat dari garis ayah. Garis ayah menguasai penggantian dan pemberian marga. Garis keturunan ibu tidak diperhitungkan dalam konteks perkawinan. Kalau seorang laki-laki bermarga al-‘Atas menikah dengan seorang wanita bermarga al-haddad, maka anak yang terlahir dari pasangan itu bermarga al-‘Attas. Demikian pula jika seorang laki-laki bermarga al-‘attas menikah dengan perempuan biasa tidak memiliki marga maka anak yang lahir dari perkawinan mereka “mendapat” marga al-‘attas. Tetapi jika perempuan bermarga al-‘Attas menikah dengan laki-laki yang tidak bermarga, maka anaknya menjadi “kehilangan” marga ibunya.
Sistem kekerabatan ini memiliki implikasi-implikasi terhadap tata-nilai dalam kehidupan mereka, termasuk tata nilai dalam fiqh munakahat. Laki-laki Arab, secara normative boleh menikah dengan perempuan manapun karena tidak beresiko “kehilangan” marga bagi anak mereka.
Dengan demikian, sebenarnya fatwa mengenai terlarangnya anak perempuan mereka dinikahi seorang yang bukan dari golongan syarif lebih dekat kepada adat istiadat Hadramaut yang telah mengakar. Bahkan menurut Berg [37], seorang kepala suku yang paling berpengaruh pun tidak mungkin memperistri putri sayyid ( syarif ), apalagi putri dari keluarga al-Masyhur (gelar dari pengarang Bughyah).

IV. Simpulan.
Dari pembacaan terhadap fatwa-fatwa tersebut diperoleh simpulan besar sebagai berikut:
Pertama, pembacaan sebuah fatwa hukum Islam dalam perspektif yang luas dapat membantu kita untuk memamahinya secara proporsional untuk menentukan penilaian apakah fatwa itu otoritatif ataukah otoriter.
Kedua, uraian di atas menunjukkan bahwa otoritarianisme fatwa khususnya (dan otoritarianisme penafsiran teks-teks agama otoritatif pada umumnya) harus dihindarkan karena hal itu akan menciderai otoritas teks agama yang justru memiliki watak multi-interpretasi. Dalam ungkapan lain bisa dikatakan bahwa membatasi hak pemahaman agama hanya kepada generasi periode tertentu, itulah tidakan otoritarianisme yang sesungguhnya.

Wallahu a’lam.


Daftar Bacaan

Abdul Muta’al al-Sho’idi, Al-Mujaddidun Fi al-Islam,Dar al-Hamami : t.t.
Abdurrahman bin Muhammad bin Husain al-Hadhrami,Bughyat al-Mustarsyidin, Beirut : Dar al-Fikr,1995.
Abû al-A’la al-Maududi, A Short History of The Revivalist Movement in Islam, terj. Al-Ash’ari, Lahore : Islamic Publications Limited, 1981.
Abû al-Tib al-Azim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Sharh Sunan Abi Dawud, vol. XI, (Beirut : Dar al-Fikr, 1979).
Ali Bin Ahmad al-Wahidi,Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân, Kairo : Dar al-Kitab al-Jadid, 1969.
Arthur Asa Berger,Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer: Suatu Pengantar Semiotika, terj. M.Dwi Mariyanto dkk, Jogjakarta: Tiara Wacana, 2005.
Barth, Fredrik, Kelompok Etnik dan Batasanny,Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan,terj. Nining I.Soesilo, Jakarta:Universitas Indonesia Press, 1988.
Haryatmoko,”Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bordieu” dalam Majalah Dua Bulanan Basis, No.11-12 Tahun ke-52, November –Desember 2003, hal. 20 dan seterusnya.
Ibrahim Anis dkk, al-Mu’jam al-Wasîth, Kairo: t.p, 1972.
J.N.D. Anderson,Law Reform in The Muslim World,London,1976.
JB. Sudarmanto, Agama dan Idiologi, Jakarta: Penerbit Kanisius,1987.
John O. Voll, “Revivalism and Social Transformation in Islam”, dalam The Muslim World (1989), 172.
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford: Oxford University Press,1964.
Khaled Abou al-Fadl, Atas Nama Tuhan : Dari Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta : Serambi,2004.
Khaled Abou al-Fadl, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-Wenang dalam Wacana Islam, terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta : Serambi,2003.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, Jakarta : Teraju Mizan, 2004.
Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, t.tp.: Dar al-Fikr al-‘Arabi,t.th.
Muhammad Khalid Mas’ud dkk.,”Mufti, Fatwas, and Islamic Legal Interpretation,” dalam Islamic Legal Interpretation, Muftis and Their Fatwas, (eds. Muhammad Khalid Mas’ud, Brinkley Messick, David S. Powers), Amerika : Harvard University Press, 1996.
N.J. Coulson, A History of Islamic Law,Edinburgh,1964.
Van Den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta : INIS, 1989.
Victor Turner, Masyarakat Bebas Struktur, di sadur oleh Winangun, YW. Wartaya, Jogjakarta: Kanisius.1990.
Waell B. Hallaq,” Was The Gate of Ijtihad Closed?”, dalam International Journal Middle East Study,Vol. 16 (1984).
Wahbah al-Zuhaili,Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Juz II, Beirut : Dar al-Fikr,1986.
Yusuf al-Qardhawi,Ijtihad Kontemporer, Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, Terj.Abû Barzani, Surabaya: Risalah Gusti,1995.

*===========*

[1] Makalah disampaikan dalam Diskusi Bulanan Pengurus Wilayah LAKPESDAM NU Jawa Tengah pada tanggal 01 April 2009.
[2] Ibrahim Anis dkk, al-Mu’jam al-Wasîth, Kairo: t.p, 1972, 673.
[3] Wahbah al-Zuhaili,Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Juz II, Beirut : Dar al-Fikr,1986, 1156-57.
[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, t.tp.: Dar al-Fikr al-‘Arabi,t.th., 401.
[5]Muhammad Khalid Mas’ud dkk.,”Mufti, Fatwas, and Islamic Legal Interpretation,” dalam Islamic Legal Interpretation, Muftis and Their Fatwas, (eds. Muhammad Khalid Mas’ud, Brinkley Messick, David S. Powers), Amerika : Harvard University Press, 1996, 3.
[6] Ibid.,8-9.
[7] Abu Zahrah,Ushûl, 401.
[8]Ibid.
[9] Lihat John M. Echols &Hassan Shadily,Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia,2006, h. 46.
[10] Ia memperkenalkan istilah itu dalam buku ini berjudul Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-Wenang dalam Wacana Islam, terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta : Serambi,2003. dan Atas Nama Tuhan : Dari Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta : Serambi,2004.
[11] Khaled Abou al-Fadl, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-Wenang dalam Wacana Islam, terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta : Serambi,2003, h. 96.
[12] Khaled Abou al-Fadl, Atas Nama Tuhan : Dari Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta : Serambi,2004.Ibid.204.
[13] Ibid, h. 100-101.
[14] Abdurrahman bin Muhammad bin Husain al-Hadhrami,Bughyat al-Mustarsyidin, Beirut : Dar al-Fikr,1995, hal. 6.
[15] Ibid., 7.
[16] Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Oxford University Press,1964), 70-71. Tesis-tesis yang senada dengan pendapat Schacht dapat dilihat antara lain dalam N.J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh,1964), 81 dan J.N.D. Anderson,Law Reform in The Muslim World (London,1976), 7.
[17] Lihat Waell B. Hallaq,” Was The Gate of Ijtihad Closed?”, dalam International Journal Middle East Study,Vol. 16 (1984),10.
[18] Ibid.
[19] Abû al-Tib al-Azim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Sharh Sunan Abi Dawud, vol. XI, (Beirut : Dar al-Fikr, 1979), 385.
[20] Pierre Bordieu (1930-2002) adalah sosiolog berkebangsaan Prancis. Baca Haryatmoko,”Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bordieu” dalam Majalah Dua Bulanan Basis, No.11-12 Tahun ke-52, November –Desember 2003, 20.
[21] Abû al-A’la al-Maududi, A Short History of The Revivalist Movement in Islam, terj. Al-Ash’ari (Lahore : Islamic Publications Limited, 1981), 33.
[22]Ibid., 34.
[23] Abdul Muta’al al-So’idi, Al-Mujaddidun Fi al-Islam (Dar al-Hamami : t.t.), 5 – 7.
[24] John O. Voll, “Revivalism and Social Transformation in Islam”, dalam The Muslim World (1989), 172.
[25] QS. Al-Anbiya’ (21) : 107.
[26] Tentang teori otrodoxa dan heterodoxa Pierre Bourdieu dapat dibaca tulisan Suma Riella Rusdiarti “Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan” dalam Majalah Dua Bulanan Basis,30.
[27] Involusi adalah gejala perkembangan ilmu ke “dalam “ menjadi ilmu yang msemakin renik. Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, Jakarta : Teraju Mizan, 2004, 7.
[28] Yusuf al-Qardhawi,Ijtihad Kontemporer, Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan,Terj.Abû Barzani, Surabaya: Risalah Gusti,1995, 124-125.
[29] Dalam pengertian yang agak rumit Van Den Berg memberikan rincian mengenai istilah-istilah itu. Lihat Van Den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta : INIS, 1989, 23.
[30] al-Hadhrami,Bughyat, 132.
[31] انما يريد الله ليذهب عنكم الرجس اهل البيت ويطهركم تطهيرا
[32] Victor Turner, Masyarakat Bebas Struktur, di sadur oleh Winangun, YW. Wartaya, Jogjakarta: Kanisius.1990,19
[33] Arthur Asa Berger,Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer: Suatu Pengantar Semiotika, terj. M.Dwi Mariyanto dkk, Jogjakarta: Tiara Wacana, 2005.
[34] JB. Sudarmanto, Agama dan Idiologi, Jakarta: Penerbit Kanisius,1987,42.
[35] Barth, Fredrik, Kelompok Etnik dan Batasanny,Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan,terj. Nining I.Soesilo, Jakarta:Universitas Indonesia Press, 1988, 11.
[36] Ibid:19
[37] Van Den Berg,Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta : INIS,1989, 61.