Kamis, 30 Juli 2009

Workshop/Halaqoh Advokasi Anggaran pro poor II

Pengurus Wilayah Lakpesdam NU Jawa Tengah dengan Komisi Kebijakan Publik NU Jawa Tengah bekerjasama dengan Pattiro Surakarta dan Pekalongan serta The Asia Foundation kembali menyelenggarakan Workshop/Halaqoh Advokasi Anggaran II. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada sabtu 25 Juli 2009 di Hotel Grasia Semarang dan diikuti 45 peserta dari utusan pengurus lembaga dan badan otonom PW NU Jawa Tengah dan dibuka secara resmi oleh ketua PW NU Jawa Tengah Drs. H. Muhammad Adnan, MA. Pembicara dalam workshop/halaqoh ini adalah Prof. Dr. FX. Sugiyanto (Guru Besar FE UNDIP) dan Drs. Joko J. Prihatmoko, M.Si (wakil Ketua KKP NU Jateng). Menurut sekretaris PW Lakpesdam NU Jawa Tengah, Agus Riyanto, S.IP, M.Si, workshop II ini bertemakan mendorong kebijakan politik anggaran yang pro poor dan dimaksudkan untuk pemahaman dan kesadaran kritis kepada para peserta tentang pentingnya keberpihakan negara kepada masyarakat miskin terutama yang berkaitan dengan politik anggaran. Diharapkan nantinya dengan workshop ini elemen-elemen NU bisa tergugah dan menjadi garda terdepan dalam mengawal kebijakan-kebijakan politik anggaran yang pro poor

Diskusi Analisis APBD

Diskusi bulanan Pengurus Wilayah Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU Jawa Tengah bulan Juli 2009 menghadirkan narasumber : Eko Haryanto (KP2KKN Jawa Tengah) membahas tema : Analisis APBD. Diskusi tersebut berlangsung Sabtu, 11 Juli 2009 , mulai jam 14.00 sampai jam 18.00 di Kantor PW NU Jawa Tengah, Jln. Dr. Cipto 180 Semarang dan dihadiri oleh para pengurus PW Lakpesdam NU Jateng, elemen mahasiswa, dan perwakilan badan otonom/lembaga NU di Jawa Tengah. Eko Haryanto mengemukakan perlunya langkah sistematis dalam melakukan monitoring dan advokasi APBD. Hal ini penting dilakukan agar APBD yang merupakan anggaran pemerintah daerah esensinya adalah anggaran rakyat, yaitu berasal dari uang rakyar dan seharusnya dibelanjakan untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu perlunya elemen-elemen masyarakat ikut terlibat dan berpartisipasi dalam memonitor dan mengawasi APBD, sehingga penyelewengan-penyelengan bisa di eliminir.

Pelatihan Analisis Anggaran I

Pengurus Wilayah Lakpesdam NU Jawa Tengah bekerjasama dengan Komisi Kebijakan Publik NU Jawa Tengah, Pattiro Surakarta dan Pekalongan serta The Asia Foundation menyelenggarakan Pelatihan Analisis Anggaran I di Hotel Wina Wisata Bandungan Kabupaten Semarang pada 27 -28 Juni 2009. Pelatihan yang berlangsung selama dua hari tersebut merupakan rangkaian kegiatan CSIAP (Civil Society Against Poverty) yang sedang dilaksanakan oleh PW Lakpesdam NU Jawa Tengah. Kegiatan tersebut diikuti oleh 30 peserta utusan dari lembaga dan banom (badan otonom) di lingkungan PW NU Jawa Tengah. Menurut Ketua PW Lakpesdam Jawa Tengah, Drs. H. Khoirul Anwar, M.Ag tujuan diadakan pelatihan ini adalah untuk membuka kesadaran akan pentingnya mengetahui dan memahami struktur APBD yang diharapkan bisa menjadi dasar bagi para elemen di NU Jawa Tengah melakukan advokasi APBD di Jawa Tengah. Dalam pelatihan tersebut diberikan dasar-dasar menganalisis APBD yang disampaikan oleh Ismail Amir dari FITRA Jawa Timur.

Jumat, 26 Juni 2009

Menghidupkan Kembali Fiqh Politik

MENGHIDUPKAN KEMBALI FIQH POLITIK *)
Dr. Imam Yahya **)

(Makalah diskusi Lakpesdam 3 Juni 2009)

Perkembangan partai politik di kalangan warga NU seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Nahdlatul Ummah dalam kancah perpolitikan di Indonesia sekarang ini mengingatkan pada partai NU di tahun 1950-an. Saat itu partai NU, bersama Partai Masyumi, mempunyai peran yangsignifikan dalam konstalasi politik nasional. Meski belakangan banyak tokoh-tokohnya yang bertumbangan karena konflik internal maupun persoalan eksternal lainnya.
NU sebagai organisasi sosial, keagamaan, tokoh-tokohnya tersebar di berbagai bidang keagamaan maupun kemasyarakatan. Dalam bidang politik misalnya, tokoh-tokoh NU diharapkan mampu menggunakan perspektif NU dalam bertindak dan bertingkah laku, yakni berpolitik untuk kemaslahatan umat, atau tashorruf al-Imam ala al-Raiyyah manutun bi al-Mashlahah. Meski banyak politisi berlatar belakang agama, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung kooptatif, logika (the power of logic), seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengadian dan kejujuran.
Sepintas, argumen yang diajukan beberapa kalangan agar tokoh agama tidak berpolitik sangat luhur dan mulia. Sebagian kalangan itu sepertinya menghendaki agar kesucian, keluhuran moral, dan tugas mulia para kiai yang ada di dunia ”lain” harus tetap terjaga dari ”kubangan” politik yang penuh dengan kenistaan.
Namun, berpolitik dan berdakwah bagi tokoh agama, bagaikan dua sisi mata uang. Berdakwah dan berpolitik sama-sama pentingnya. Sejarah politik Islam memberikan pelajaran kepada kita, ketika Nabi wafat pertama muncul adalah persoalan politis, yakni soal pengangkatan wakil pemimpin Negara Madinah pasca Nabi. Namun dengan semangat kebersamaan, tokoh-tokoh politik kelompok Anshar harus menerima pengangkatan Abu Bakar yang muhajirin untuk memimpin negara Madinah pasca Nabi.
Dengan paradigma tokoh-tokoh anshar di atas, berpolitik atau masuk ke salah satu parpol, diharapkan bisa menyuarakan kebenaran. Inilah mungkin prinsip-prinsip yang dipraktekkan Rasulullah SAW selama memimpin komunitas muslim di Madinah,bisa menjadi semangat berpolitik para tokoh agama.
Tentu benar bahwa ketika para Kyai berpolitik, maka akan muncul permasalahan, biak berkaitan dengan penggunaan otoritas dan penggunaan egitimasi, maupum pada substansi ketelibatan tokoh agama dalam politik praktis. Para Kyai harus melakukan perannya sesuai dengan posisi dan kedudukannya di partai politik dimanapun berada.
Peran itu berupa tugas pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai pewaris Nabi. Peran itu biasa disebut dengan ’amar ma’ruf nahi munkar, seperti (a) mendidik umat di bidang agama dan lainnya, (b) melakukan kontrol terhadap masyarakat, (c) memecahkan problem yang terjadi di masyarakat, (d) menjadi agen perubahan sosial. Kesemua tugas itulah yang menuntut bagi aktifis politik untuk dijalankan oleh para ulama sepanjang kehidupannya.
Tak berlebihan bila Imam Al- Mawardi dalam bukunya Al-Ahkam al-Sulthaniyyah menyatakan bahwa berpolitik berarti siyasatu al-dunya wa harasat al-diin (mengatur persoalan keduniawian dan mempersiapkan sangu akhirat). Begitupun juga ungkapan KH Wahab Hasbullah bahwa berpolitik harus betul-betul serius jangan sepotong-potong kecuali kondisi tidak menentu, ma la yudroku kulluh la yutroku kulluh.

Pengalaman Politik NU
Sejarah mencatat, kiprah Nahdlatul Ulama (NU) dalam perpolitikan bangsa cukup diperhitungkan dan disegani karena kekuatannya yang sangat besar, terlebih ketika NU tampil sebagai partai politik yang berdiri pada tahun 1952-1973.
Persoalan muncul ketika Pemilu 1971 Golkar menang mutlak dengan perolehan suara 62,80 % atau 236 kursi dari keseluruhan kursi DPR ditambah kursi Karya ABRI dan non-ABRI yang diangkat. Dengan mengantongi 336 kursi dari keseluruhan kursi yang berjumlah 460 di DPR, maka Golkar memiliki suara mayoritas mutlak. Sedangkan suara partai-partai Islam (kalaupun digabung) hanya mencapai 20,3 % atau 94 kursi. Dari 94 kursi tersebut, 58 kursi ( 61, 7 %) adalah milik NU ( M. Ali Haidar : 1994)
Kondisi ini mengakibatkan posisi tawar kelompok Islam dalam DPR sangat lemah. Sampai akhirnya, pada 5 Januari 1973 keempat partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) sepakat melakukan fusi. Maka lahirlah partai politik baru yang menyatukan keempat partai Islam tersebut, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Keterlibatan NU dalam kancah politik yang dirasa sudah terlalu jauh, ditambah lagi munculnya konfrontasi antara NU dengan kelompok lain di PPP, membuat NU harus instropeksi diri. Puncaknya, pada Muktamar XXVII tahun 1984 di Situbondo NU memutuskan kembali ke Khittah 1926, sebagai organisasi sosial keagamaan.
Di tahun 1998, ketika lahir era reformasi, naluri tokoh-tokoh NU untuk berpolitik praktis kembali bangkit. Tetapi karena ada rambu kembali ke Khittah, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan kawan-kawan mengambil jalan keluar dengan mendeklarasikan partai baru yang secara organisatoris terlepas dari NU, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sejak kelahirannya pada 23 Juli 1998, ternyata PKB belum mampu secara maksimal menjadi rumah politik yang nyaman bagi warga NU. Indikasi ini bisa dilihat dari realitas internal partai yang selalu memunculkan konflik bahkan sampai pada fase pertentangan yang akut, yaitu perpecahan. Diawali dipecatnya Matori Abdul Djalil dari kepengurusan PKB, yang akhirnya membentuk partai sendiri dengan nama Partai Kejayaan Demokrasi (PKD).
Kemudian di penghujung 2006, sejumlah kyai PKB pun mengambil sikap mufaraqah (memisahkan diri/keluar) dan membentuk partai baru : Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), yang berasaskan Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Rivalitas Kyai
Kondisi demikian memaksa politisi NU – yang sebagian besar adalah kyai – untuk saling berseteru secara berkelanjutan. Rivalitas para kyai ini, disadari atau tidak, sebetulnya sangat tidak menguntungkan bagi masa depan NU sebagai jama’ah, maupun nahdlah. Memang, konflik adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam politik, bahkan bisa disebut esensi politik.
Memang, konflik dapat jugaberfungsi sebagai pengintegrasi masyarakat dan sumber transformasi. Namun, sebagaimana kita lihat, konflik dalam tubuh NU (tepatnya politisi NU) cenderung mengarah pada terciptanya kubu-kubu yang terlibat pada ketegangan yang tentunya potensial melahirkan perpecahan.
Fenomena inilah yang kemudian melahirkan pertanyaan besar, sejatinya untuk siapa politik yang mereka mainkan? Rakyatkah (nahdliyyin) atau interes politik pribadi? Apakah mereka benar-benar masuk ke dalam ruang politik dengan membawa misi ke-NU-an, amar ma’ruf nahi munkar?

Renungan
Pertama, esensi Khittah 1926 adalah perjuangan untuk rakyat (utamanya nahdliyyin) menyejahterakan, mengangkat derajat, memperbaiki mutu pendidikan, dan sebagainya. Penuntasan program-program sosial keagamaan inilah yang mendesak diprioritaskan ketimbang agenda-agenda politik (kekuasaan) yang (hanya) menguntungkan segelintir orang.
Pasca kembali ke Khittah, NU tidak ke mana-mana tetapi ada di mana-mana. NU bukan PKB, bukan PKNU, bukan PPP, dan bukan yang lainnya. NU adalah surga bagi siapa saja yang berkomitmen pada persoalan keagamaan dan kemasyarakatan tanpa tendensi materi maupun kekuasaan. NU adalah rumah yang menyejukkan dan peduli pada persoalan keumatan.
Kedua, di tengah konflik intern, masyarakat NU tentulah sangat mengidamkan kesejukkan. Dan itu hanya mereka dapati pada figur teduh yang berjuluk Kyai. Sayangnya, fakta memperlihatkan betapa kyai (yang berpolitik praktis-red) sendiri pun tidak bisa menjamin lahirnya kesejukan. Pasalnya, kelembutan dan kesejukan telah tergadaikan dengan dunia politik yang sarat tendesi dan kekerasan.

*******************************

*) Disampaikan pada acara diskusi bulanan PW Lakpesdam NU Jateng, Rabu 3 Juni 2009.

**) Mantan Ketua PW Lakpesdam NU Jateng, Dosen IAIN Walisongo Semarang.

Selasa, 16 Juni 2009

Halaqoh Advokasi Anggaran Pro Poor

Pengurus Wilayah Lakpesdam NU Jawa Tengah bekerjasama dengan Pengurus Wilayah NU Jawa Tengah, Komisi Kebijakan Publik NU Jawa Tengah, PATTIRO Surakarta, PATTIRO Pekalongan, dan The Asia Foundation menggelar Halaqoh Advokasi Anggaran Pro Poor dengan tema "Respon NU terhadap Problem Kemiskinan dan Kebijakan Anggaran Yang Pro Poor". Kegiatan ini berlangsung Sabtu, 23 Mei 2009 di Hotel Semesta Semarang. yang diikuti oleh sekitar 40 peserta yang terdiri dari utusan badan otonom (banom) dan lembaga di lingkungan PW NU Jawa Tengah. Narasumber dalam kegiatan ini adalah Drs. H. Muhammad Adnan, MA (Ketua Umum Tanfidziyah PW NU Jawa Tengah). Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, MA (Guru Besar Undip), dan Soepardi ( staf Bapermasdes Provinsi Jawa Tengah) dan hadir pula Katib Syuriah PW NU Jawa Tengah KH. Ubaidullah Shodaqoh, SH yang sekaligus membuka kegiatan tersebut.
Menurut ketua PW Lakpesdam NU Jawa Tengah Drs. H. Khoirul Anwar,M.Ag kegiatan Halaqoh ini akan dilaksanakan selama 4 (empat) kali selama tahun 2009 yang bertujuan membangun capacity building bagi ormas Islam khususnya NU Jawa Tengah terhadap problem kemiskinan dan Anggaran yang pro poor.

Rabu, 03 Juni 2009

Fikih dan Kebijakan Publik di Indonesia : Peluang dan Tantangan

Makalah diskusi Rutin Lakpesdam Jawa Tengah, 6 Mei 2009

FIKIH DAN KEBIJAKAN PUBLIK DI INDONESIA[1]
Peluang dan Tantangan
Oleh: Muhyar Fanani[2]

Memasuki era reformasi, hubungan antara hukum Islam dengan hukum nasional merambah jalan baru. Gerakan Islam Syariat bermunculan. Perda-perda bernuansa syariat juga bertebaran. Inikah arah yang ideal bagi muslim Indonesia untuk menjadi muslim yang baik sekaligus warga Indonesia yang baik? Pertanyaan ini perlu perenungan yang mendalam dengan memanfaatkan dialektika antara teks dan konteks, antara statis (ats-tsâbit) dan dinamis (al-mutahawwil), antara originalitas (al-ashâlah) dan modernitas (al-mu'âshirah), antara tradisi dan inovasi, serta antara doktrin dan realitas. Mengapa? Karena dialektika nyata-nyata menghasilkan sejumlah kreativitas yang semakin hari semakin membaik dan mendekati idealitas baru. Dialektika mengantarkan terbentuknya equilibrium baru yang lebih realistis dalam menjembatani tarik-menarik antara doktrin dan sejarah. Dialektika menjadikan manusia lebih mudah dalam menyikapi perubahan dengan tetap berpijak pada norma-norma yang diyakininya.
Tak ada yang abadi dalam kehidupan umat manusia. Hidup selalu berubah. Ralitas, pikiran, konsep yang dimiliki umat manusia di setiap zamannya pasti berubah seiring dengan berjalannya waktu. Hal yang demikian ini berlaku dalam setiap aspek kehidupan baik agama, politik, hukum, budaya, sosial, dan ekonomi. Segala perubahan pada satu aspek menyebabkan perubahan pada aspek yang lain untuk menciptakan sebuah harmoni baru. Bila harmoni tidak terjadi, maka yang muncul adalah disharmoni. Perubahan pada aspek pilitik, misalnya, menyebabkan perubahan pada aspek lain seperti sosial dan ekonomi. Inilah yang terjadi di Indonesia pada era reformasi. Berkat reformasi banyak orang yang semula kaya berubah menjadi miskin. Sebaliknya tidak sedikit orang yang dulu miskin berubah menjadi kaya. Banyak warga yang dulu rakyat biasa berubah menjadi pejabat yang punya kuasa. Perubahan pada satu aspek kehidupan telah menyebabkan perubahan pada aspek lain demi terciptanya sebuah harmoni baru. Perubahan pada aspek sosial politik akan menyebabkan perubahan pada tata sosial masyarakat. Perubahan pada tata sosial menyebabkan perubahan pola hubungan masyarakat dan struktur sosial. Demikianlah seterusnya, perubahan satu bidang akan menimbulkan perubahan pada bidang yang lain. Pendek kata, tidak ada satu masyarakatpun di dunia ini yang bisa menghindar dari hukum perubahan. Segalanya berubah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi.
Fikih tradisional, riwayatmu dulu
Keadaan masyarakat muslim sebelum kolonialisme jauh berbeda dengan pasca kolonial. Kolonialisme telah membawa banyak perubahan di dunia Islam baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Perubahan itu demikian dahsyatnya, sehingga masyarakat muslim nyaris kehilangan jati dirinya. Begitu hebatnya perubahan yang terjadi di dunia muslim pasca kolonialisme telah mempengaruhi cara berpikir masyarakat dan konsep-konsep mereka tentang berbagai aspek kehidupan.
Mengapa kolonialisme begitu perkasa mengubah dunia Islam?
Sebenarnya yang perkasa bukan kolonialisme, tapi renaisans Eropa yang bermula di Italia pada abad XV dan XVI. Anak-anak renaisans seperti Dante dan Michelangelo telah mengubah Eropa dari era ketertiduran yang panjang menjadi era kebangkitan. Lima ruh renaisans (humanisme, individualisme, tak mau diatur oleh agama (Kristen), empirisisme, dan rasionalisme) telah menjadi kekuatan pendorong yang membuat Eropa giat mencari hal-hal baru baik dalam IPTEK maupun sumber-sumber ekonomi. Yang terakhir inilah yang mengakibatkan kolonialisme. Dalam rangka mencari sumber-sumber ekonomi baru, Eropa menjajah negeri-negeri selatan yang mayoritas dihuni oleh penduduk muslim.
Selama masa penjajahan yang panjang itu, apa yang diyakini benar oleh orang Eropa ditularkan ke penduduk muslim. Prestasi anak-anak renaisans Eropa tidak bisa dipungkiri, telah turut mengarahkan masyarakat Eropa dalam menemukan kebenaran baik dalam politik, sosial, budaya bahkan ilmu pengetahuan. Walaupun kolonialisme berdampak negatif bagi dunia muslim, namun ia telah membawa perubahan pada wilayah politik, sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan. Pada kenyataannya, kaum penjajah menyelenggarakan sekolah-sekolah sebagai wahana belajar penduduk-penduduk terjajah, walaupun hal ini mereka khawatirkan akan menjadi "senjata makan tuan". Kaum penjajah sebenarnya sadar bahwa sekolah sebagai wahana pencerahan akan mencerdaskan anak-anak terjajah. Dengan kepintarannya, anak-anak terjajah akan mengetahui bahwa penjajahan itu melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Mereka juga mengetahui, berkat sekolah, anak-anak terjajah yang dulu "bloon" bisa berubah menjadi encer otaknya dan bisa mengusir penjajah. Sejarah membuktikan, sepandai-pandai kaum penjajah melompat, akhirnya terpeleset juga. Apa yang mereka khawatirkan menjadi kenyataan. Benih-benih renaisans yang mereka tularkan pada anak-anak pribumi telah membuat masyarakat pribumi bangkit menuntut kemerdekaan. Kebijakan semu mereka dengan berbaik hati mendirikan sekolah-sekolah di bumi terjajah telah memaksa mereka pulang ke negeri asalnya.
Kini penjajahan dalam bentuk pendudukan memang telah berakhir. Namun nilai-nilai renaisans yang pernah ditularkan oleh kaum penjajah terlanjur tertanam dan tumbuh di masyarakat terjajah yang mayoritas muslim itu. Nilai-nilai itu telah merubah sendi-sendi kehidupan masyarkat muslim, pelan tapi pasti.
Salah satu yang berubah dari masyarakat muslim adalah konsep hubungan antara agama dan negara. Sebelum dipengaruhi oleh pikiran-pikiran renaisans, masyarakat muslim meyakini bahwa agama adalah payung bagi segala sendi kehidupan termasuk negara. Agama pada masa itu, meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla, adalah bos, sedang negara adalah budak. Agama adalah tujuan, sedang negara adalah sarana. Itulah makanya, dalam konteks fikih klasik, hubungan antara negara dan agama adalah menyatu. Agama tidak boleh dipisahkan dari negara. Negara tunduk pada kemauan agama. Posisi negara berada di bawah agama. Negara bertugas menyokong dan menegakkan agama. Dalam pengalaman masyarakat muslim, penyatuan ini berlangsung sejak sepeninggal nabi (632M) hingga datangnya era kolonialisme abad XVI. Sejak hadirnya kolonialisme, upaya memisahkan keduanya mulai bermunculan.
Fikih Islam tradisional sesungguhnya berpijak pada konsep penyatuan antara agama dan negara. Itulah makanya, dalam fikih tradisional dijumpai kategori zimmi (non-muslim yang dilindungi) dan harbî (non-muslim yang diperangi) yang mencerminkan tiadanya asas equality before the law (kesetaraan di depan hukum) bagi seluruh warga negara. Ini sekaligus membenarkan bahwa dalam aspek politik, fikih Islam tradisional tidak mengacu pada negara Madinah yang menjunjung tinggi prinsip egalitarianisme universal, tapi mengacu pada fase-fase sesudah nabi wafat. Pada fase ini umat Islam terpancing dengan genderang permusuhan yang dihembuskan oleh mereka yang memusuhi Islam seperti kafir Quraish. Disamping itu, mereka melupakan ruh perjuangan nabi yang suka menebarkan kedamaian dan kasih sayang walaupun dengan mereka yang berkeyakinan berbeda.
Fikih tradisional yang berlandaskan pada menyatunya agama dan negara jelas problematik ketika diterapkan pada situasi yang justru memisahkan keduanya seperti sekarang. Anehnya, tidak sedikit umat Islam yang mengabaikan faktor perbedaan ini. Akibatnya, mereka memaksakan diri menerapkan fikih tradisional ke dalam struktur negara modern. Tindakan ini jelas akan memunculkan problem. Tindakan ini sesungguhnya sangat egois, karena negara yang mereka punyai sesungguhnya juga dimiliki oleh orang lain. Nabi Muhammad ketika memimpin negara Madinah sama sekali tidak egois. Ia merangkul semua kelompok di Madinah. Ia menyerukan pada semua penduduk Madinah bahwa serangan dari manapun terhadap suku apapun, baik muslim maupun non muslim yang terikat perjanjian Madinah berarti serangan bagi seluruh warga Madinah. Seluruh warga wajib melindunginya dan bersatu padu mempertahankan diri.

Fikih tradisional, riwayatmu kini
Menerapkan fikih tradisional dalam struktur negara modern tanpa rekonstruksi internal hukum Islam akan menciptakan suasana kebencian dari masyrakat non muslim akibat dari egoisme kaum muslim. Itulah makanya, dalam era keterpisahan antara agama dan negara seperti yang dialami negeri-negeri muslim pasca kolonial, umat Islam dituntut untuk memikirkan ulang konsep-konsep metodologis fikih Islam agar tidak mencipkatakan problem egoisme. Dalam konteks negara sekuler, di mana negara harus bersikap netral terhadap semua agama, kebutuhan akan rekonstruksi internal hukum Islam mutlak diperlukan.
Terkait dengan rekonstruksi internal ini, terdapat dua aliran dalam hal ini. Pertama, rekonstruksi internal yang berbasis pada pemisahan antara Islam dan negara. Inilah yang diikuti oleh Abdullahi Ahmed an-Naim. Bagi Naim, negara Islam itu tidak ada. Karena negara itu institusi sekuler sedang Islam itu norma. Keduanya tidak mungkin disatukan. Naim menolak formalisasi Syariat.[3] Kedua, rekonstruksi internal yang berbasis pada penyatuan antara Islam dan negara. Inilah yang dikembangkan oleh Muhammad Syahrûr. Tujuan Syahrûr jelas yakni agar hukum Islam tetap menjadi solusi bagi kehidupan modern, tapi pada saat yang sama tidak bertabrakan dengan nilai-nilai modernitas seperti demokrasi, civil society, dan konstutusionalisme.
Walaupun kedua aliran ini berbeda dalam argumentasinya, namun keduanya memiliki titik singgung, yakni: Pertama, etika universal harus menjiwai perundangan negara, karena dalam konteks ini, semua ajaran agama akan bertemu. Kedua, pengedepanan civic reason atau public reason dalam wacana hukum Islam kontemporer. Walaupun terkait formalisasi syariat, Syahrûr berbeda sikap dengan an-Naim (an-Naim menolaknya sementara Syahrûr menerimanya dengan syarat), namun keduanya menyepakati pentingnya public reason bagi pembaruan hukum Islam agar hukum Islam tradisonal tidak bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi masyarakat modern. Bagi an-Naim dan Syahrûr, diformalkan atau tidak, hukum Islam harus dibicarakan secara demokratis. Keduanya sepakat bahwa hukum Islam kontemporer harus menjunjung tinggi asas demokrasi dan partisipasi masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, pemikiran an-Naim dan Syahrûr ini sangat penting karena menjadi solusi bagi kalangan yang mendukung formalisasi syariat yang sementara ini mengabaikan rekonstruksi internal hukum Islam. Pemikiran Syahrûr sekaligus mengingatkan mereka akan bahaya formalisasi Syariat tanpa rekonstruksi internal. Bahayanya jelas yakni umat Islam akan jatuh pada tindakan tirani atas kelompok lain yang dengan demikian mengancam kohesi nasional. Formalisasi Syariat tanpa rekonstruksi internal hanya akan mengumbar ego keislaman. Padahal, nabi mengajari umatnya untuk menjauhi sikap yang demikian dan menganjurkan senyum kedamaian pada sesama.

Demokrasi sudah, kedaulatan hukum belum
Bangsa Indonesia mendapatkan penghargaan The Democracy Medal Award dari IAPC (International Association of Political Consultant) karena dinilai sukses menjalankan demokrasi. Medali diterimakan kepada Susilo Bambang Yudoyono, atas nama bangsa Indonesia, oleh Ben Godder, Presiden IAPC di Nusa Dua, Bali tanggal 12 Nopember 2007. Ini membuktikan bahwa negeri muslim terbesar di dunia ini mampu menunjukkan pada dunia bahwa menjadi muslim tidak harus anti demokrasi. Bangsa Indonesia mampu meyakinkan masyarakat internasional bahwa Islam dan demokrasi yang di Timur Tengah menjadi musuh bebuyutan, di Indonesia menjadi sahabat karib yang saling mendukung.
Prestasi bangsa Indonesia dalam berdemokrasi membuat mata para pengamat politik Barat terkesima. Bagaimana mungkin doktrin Islam seperti ummah, ad-dîn wa ad-daulah, dan Islam solusi semua masalah yang selama ini mereka yakini bertabrakan dengan prinsip demokrasi sebagaimana dipentaskan banyak negara muslim, mampu dibalik oleh muslim Indonesia menjadi unsur yang bersahabat dengan demokrasi. Para pengamat seperti Samuel Hantington (Harvard), Bernard Lewis (Princeton), dan Elie Kedourie yang selama ini meyakini bahwa Islam dan demokrasi sulit bertemu mendapatkan bantahan dari muslim Indonesia. Memang dibanding dengan mayoritas negara muslim, fenomena demokrasi di Indonesia belum bisa menghapus stereotip negara-negara muslim yang miskin demokrasi. Freedom House (2002) merangkum dalam Index of Political Rights and Civil Liberty[4] bahwa dalam tiga dekade terakhir, mayoritas negara muslim bukanlah negara demokratis kecuali Mali di Afrika. Dua belas negara muslim lainnya semi-demokratis dan 35 negara muslim lain bersifat otoritarian. Bahkan hampir semua negara bekas Uni Soviet memilih demokrasi kecuali enam negara muslim: Azerbaijan, Kazakhstan, Kyrgistan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Begitu pula dengan Siprus yang terbagi menjadi dua wilayah, Siprus Yunani dan Siprus Turki. Syprus Yunani lebih demokratis dari pada Siprus Turki. Ini semua membuktikan bahwa tanpa sikap kritis terhadap paradigma klasik Syariah, doktrin Islam akan sulit kompatibel dengan demokrasi.
Fenomena demokrasi di Indonesia dan Mali adalah pengecualian. Kedua negeri itu membuktikan bahwa Islam dan demokrasi bila disandingkan secara kreatif dan dengan memanfaatkan paradigma baru pastilah bisa berdamai bahkan saling mendukung. Esposito dan Mousalli telah membuktikan bahwa Islam sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang mendukung demokrasi. Pengalaman Indonesia menunjukkan demokrasi akan tumbuh di negara muslim bila pilar-pilar demokrasi seperti nation-state, civil society, dan norma hubungan timbal balik (reciprocity) berkembang dengan baik. Demokrasi di Indonesia bisa berkembang karena pilar-pilar di atas dapat tumbuh di masyarakat.[5]
Setelah muslim Indonesia mampu mendamaikan doktrin Islam dengan demokrasi, tugas selanjutnya adalah merumuskan ulang hukum Islam agar bisa hidup dalam alam demokrasi. Dengan kata lain, bagaimana menjadikan hukum Islam sebagai hukum publik menjadi tugas berikutnya bangsa ini. Ini penting karena hukum Islam muncul dan mengalami pematangan di Semenanjung Arab saat ide demokrasi belum muncul. Bentuk kehidupan politik saat itu adalah kerajaan, dinasti, atau kesultanan yang cenderung tiranik. Dalam alam demokrasi, menjadikan hukum Islam sebagai hukum nasional (nasionalisasi hukum Islam) dan menjadikan hukum nasional sebagai bagian dari hukum Islam merupakan langkah yang realistis. Kedua proses pembaruan ini tak mungkin berhasil tanpa rekonstruksi internal hukum Islam.
Dalam konteks global, rekonstruksi internal hukum Islam bila mampu dipraktekkan oleh muslim Indonesia pasca reformasi akan menjadi rujukan penting. Indonesia sebagai muslim terbesar dunia akan menjadi contoh terbaik bagi lebih dari 40 negara muslim lain dalam mengompromikan hukum Islam dengan hukum negara. Indonesia sudah memiliki modal sosial untuk ini. Sebagai bangsa muslim terbesar dunia, masyarakat Indonesia meyakini bahwa Islam dan demokrasi merupakan dua hal yang mampu berdamai secara elegan. Kompromi ini mungkin dicapai karena muslim Indonesia tidak terjebak pada kulit tapi lebih mengedepankan jiwa ajaran. Dengan demikian, keharusan untuk menerima realitas demokrasi tidak mengalami kendala.
Dalam konteks Indonesia modern, mempertentangkan antara Islam dan demokrasi sudah tidak relevan lagi. Begitu pula mempertentangkan antara hukum Islam dan hukum nasional. Bila Islam dan demokrasi bisa bertemu, mestinya hukum Islam dan hukum nasional juga bisa berkompromi. Nasionalisasi dan Islamisasi adalah jalan terbaik. Dengan nasionalisasi, keragaman hukum bisa diminimalisir dan kekokohan hukum nasional bisa terjaga. Memang, nasionalisasi membutuhkan kontribusi semua rumpun hukum: Islam, adat, Barat. Kerelaan semua pendukung rumpun hukum tersebut untuk bermusyawarah dalam membentuk hukum nasional menjadi syarat mutlak. Musyawarah akan efektif bila masing-masing pihak mau bersikap dewasa, tidak egois, dan bervisi kebangsaan-keindonesiaan. Khusus bagi sarjana hukum Islam, rekonstruksi internal yang ditawarkan an-Naim dan Syahrûr pantas menjadi pertimbangan.
Islamisasi hukum nasional dalam arti menyusun hukum nasional yang tidak bertentangan dengan akal sehat, realitas kebangsaan-keindonesiaan, serta hukum–hukum yang ada dalam Alquran perlu dilakukan.[6] Dengan demikian, selama hukum nasional diproduksi secara demokratis dan isinya selaras dengan ketiga hal di atas, maka tidak ada alasan untuk tidak menganggap bahwa hukum nasional adalah Islami.
Barangkali yang perlu diperjelas lagi adalah istilah "hukum–hukum Alquran". Istilah ini harus dipahami berdasarkan paradigma historis-ilmiah bukan paradigma tekstual. Paradigma historis-ilmiah memandang bahwa hukum-hukum Alquran itu bersifat hudûdî (limitatif). Paradigma ini meniscayakan pemanfaatan sepenuhnya prestasi ilmiah paling mutakhir pada periode dan tempat tertentu untuk memahami hukum Alquran.[7] Hukuman potong tangan, misalnya, berdasarkan paradigma ini bukanlah hukuman konkret melainkan hanya hukuman limitatif. Hukuman riil bagi tindak pidana pencurian di Indonesia harus disesuaikan dengan akal sehat masyarakat Indonesia dan realitas kebangsaan-keindonesiaan. Atas dasar paradigma limitatif ini maka hukuman mati bagi pencuri uang negara (koruptor) dapat disebut hukuman Islami berdasarkan ayat pencurian (potong tangan). Sebaliknya, kewajiban kerja sosial selama sebulan, misalnya, bagi pencuri ayam tetangganya dengan tujuan untuk membayar SPP anaknya, masih bisa disebut hukum Islam. Dengan paradigma hudûdî, hukum Islam akan mudah menyatu dengan hukum nasional, tak ada lagi dikotomi antara keduanya. Paradigma ini akan mempermudah bangsa ini menjadikan fikih sebagai kebijakan publik. Masalahnya adalah apakah para fuqaha' di negeri ini menerima paradigma baru ini? Saya tidak yakin. Bagaimana dengan Anda? Bila orang yang mempelajari fikih tidak bisa bulat dalam bersikap, apalagi para sarjana hukum umum yang referensinya hukum Belanda? Mereka sering mengatakan fikih terlalu rumit untuk sekedar memilih yang sesuai dengan akal sehat, apalagi yang sesuai dengan prinsip keindonesiaan.
Untuk menutup tulisan ini, saya tampilkan percakapan saya dengan seorang dosen Universitas Ummul Qura di Makkah pada bulan Juli 2008. Saat itu ia menjelaskan tentang ayat yang mengharuskan hukuman zina kepada pelakunya (QS/An-Nur: 2). Saya bertanya, "Kami di Indonesia bila merajam pelaku zina, bukan pelaku zina yang disalahkan negara, justru kami yang akan dihukum. Lantas bagaimana menjalankan ayat ini dalam konteks negara yang bukan seperti Arab Saudi?", tanya saya. Ia heran mendengar pertanyaan saya itu, kemudian berkata, "Saya tidak menduga di negeri Anda sesulit itu menjalankan hukum Allah. Tapi bukankah mayoritas bangsa Indonesia muslim dan mengakui kebenaran Alquran?" Saya jawab, "Tentu". Lalu ia menjawab, "Sebaiknya para mufti di negerimu berembug, hingga bisa memutuskan masalah ini".
Mendengar jawaban itu, saya berpikir. Seandainya itu bisa terjadi di negeri ini, masih muncul pertanyaan. Apakah para ulama negeri ini masih didengar fatwanya oleh pemegang kuasa kebijakan publik? Apakah anggota dewan dan pemerintah negeri ini bisa menerima ajaran hukum Alquran secara mudah hingga membuatnya menjadi UU? Saya tidak yakin, kecuali kita bisa mengemas ajaran-ajaran itu dalam balutan nalar publik Indonesia (Indonesian public reason). Mengapa? Karena Indonesia bukan Arab. Nalar orang Indonesia berbeda dengan nalar Arab. Orang Indonesia akan merasa nyaman bila disuguhi dengan menu masakannya sendiri. Maka, yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana kita bisa memasak fikih hingga menjadi nalar Indonesia? Ini tugas berat dan tidak akan pernah berakhir. Semua sarjana hukum Islam Indonesia ditantang untuk melakukan tugas ini. Peluang untuk itu masih terbuka. Wallahu a'lam[]mf

1. Disampaikan dalam Diskusi Bulanan Lakpesdam NU Jateng, Rabu, 6 Mei 2009.
2. Staf Pengajar PPS dan Fak. Ushuluddin IAIN Walisongo.
3. Abdullahi Ahmed an-Naim, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007).
4. Internet Website: http://www.freedomhouse.org/template.cfm?page=363&year=2002, diakses tanggal 19 Desember 2007.
5. Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2007), 119-137.
6. Muhyar Fanani, "Bagaimana Mendefinisikan Ulang Sumber Hukum Islam? Tawaran Muhammad Syahrûr", International Journal Ihya' Ulum ad-Din, vol.9.no.1, June 2007, 1-23.
7. Syahrûr, Nahw Ushûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî (Damaskus: al-Ahâlî li ath-Thiba'ah wa an-Nasyr wa at-Tawzî', 2000), 55-6; Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qurân (Damaskus: al-Ahâlî li ath-Thiba'ah wa an-Nasyr wa at-Tawzî', 1992)., 459.

[1] Disampaikan dalam Diskusi Bulanan Lakpesdam NU Jateng, Rabu, 6 Mei 2009.
[2] Staf Pengajar PPS dan Fak. Ushuluddin IAIN Walisongo.
[3]Abdullahi Ahmed an-Naim, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007).
[4]Internet Website: http://www.freedomhouse.org/template.cfm?page=363&year=2002, diakses tanggal 19 Desember 2007.
[5]Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2007), 119-137.
[6]Muhyar Fanani, "Bagaimana Mendefinisikan Ulang Sumber Hukum Islam? Tawaran Muhammad Syahrûr", International Journal Ihya' Ulum ad-Din, vol.9.no.1, June 2007, 1-23.
[7]Syahrûr, Nahw Ushûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî (Damaskus: al-Ahâlî li ath-Thiba'ah wa an-Nasyr wa at-Tawzî', 2000), 55-6; Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qurân (Damaskus: al-Ahâlî li ath-Thiba'ah wa an-Nasyr wa at-Tawzî', 1992)., 459.

Rabu, 06 Mei 2009

Rapat Kerja Bersama Lakspesdam Jateng dengan PATTIRO

Pengurus Wilayah Lakpesdam NU Jawa Tengah mengelar rapat kerja bersama dengan Komisi Kebijakan Publik NU Jateng dan PATTIRO Surakarta di hotel Kediri Bandungan, 18 - 19 April 2009. Rapat kerja dibuka oleh Ketua PW NU Jateng Drs. H. Muhammad Adnan, MA dan diikuti oleh pengurus PW Lakpesdam NU Jateng, Komisi Kebijakan Publik NU Jateng, perwakilan dari Muslimat NU Jateng serta pengurus PATTIRO Surakarta dan Pekalongan. Kegiatan ini dalam rangka menindaklanjuti rencana kerjasama antara Pengurus Wilayah NU Jateng yang dalam hal ini PW Lakpesdam Jateng dan Komisi Kebijakan Publik dengan PATTIRO Surakarta berkenaan dengan program peningkatan kapasitas peran ormas Islam untuk mendorong dan mengawasi kebijakan dan anggaran pemerintah agar berpihak kepada kelompok miskin. Dalam rapat kerja kerja tersebut disepakati mengenai kegiatan-kegiatan yang akan ditangani oleh PW Lakpesdam NU, Komisi Kebijakan Publik NU Jateng dan PATTIRO Surakarta selama tahun 2009 yang berkaitan dengan capacity building ormas Islam khususnya NU di Jateng dalam soal anggarang yang pro poor.

Senin, 27 April 2009

"Menggugat Otoritarianisme Fatwa"

MENGGUGAT OTORITARIANISME FATWA:
PEMBACAAN TERHADAP FATWA DALAM KITAB BUGHYAT AL-MUSTARSYIDIN [1]
Oleh Dr. HM. Mohamad Arja Imroni

Disampaikan dalam Diskusi Rutin PW Lakpesdam NU Jateng 1 April 2009

I. KONSEP DASAR MUFTI DAN FATWA
Konsep dasar fatwa sangat berkaitan erat dengan beberapa kata derivasinya yaitu; iftâ’, muftî, mustaftî dan al-mustaftâ fîh. Fatwa (plural: fatâwâ) adalah jawaban dari masalah-masalah syar’iyyah dan qanuniyyah (perundang-undangan) yang pelik. Aktifitas memberi fatwa disebut dengan al-iftâ. Orang yang memberi fatwa disebut mufti (plural: muftûn).[2] Orang yang meminta fatwa (karena tidak mampu berijtihad ) disebut dengan mustaftî, sedangkan yang dimaksud dengan al-mustaftâ fîh adalah permasalahan-permasalahan dhanniyah yang dimintakan fatwa tentang hukumnya. Dalam pengertian yang bersifat teknis, al-Zuhaili memberikan pengertian mufti sebagai seorang ahli fiqh (faqîh) atau mujtahid yang telah memenuhi beberapa persyaratan untuk mengeluarkan fatwa. Mufti meliputi setiap orang yang memiliki keahlian istidlâl dan istinbâth dan orang yang ahli dalam melakukan tarjîh dan takhrîj.[3]
Abu Zahrah membedakan pengertian iftâ dari ijtihad. Iftâ’ bersifat lebih khusus daripada ijtihad. Ijtihad merupakan proses mengeluarkan hukum dari dalilnya (istinbath) baik ada maupun tidak adanya pertanyaan. Adapun iftâ’ tidak dilakukan kecuali bila ada suatu peristiwa yang terjadi, dan ditanyakan kepada seorang faqîh.[4]
Orang yang memberikan penyelesaian persoalan hukum, dalam hazanah hukum Islam, selain mufti terdapat juga qadhi. Qadhi memainkan peranan yang lebih formal, pendapatnya menjadi putusan hukum yang bersifat mengikat, mendapat dukungan penguatan (enforcement) dari negara, atau dapat disepadankan dengan hakim dalam pengadilan. Sedangkan pendapat hukum mufti bukan merupakan putusan hukum yang mengikat kepada orang yang bertanya (mustafti) baik yang berhubungan dengan persoalan litigasi maupun non-litigasi karena mufti bukan merupakan bagian dari pengadilan resmi. Namun demikian, meskipun keduanya memiliki perbedaan, tetapi sebenarnya keduanya merupakan pihak yang memiliki spesialisasi menjawab dan menyelesaikan konflik sehari-hari maupun pertanyaan / persoalan hukum yang berhubungan dengan syari’ah.[5]
Khalid Mas’ud melaporkan bahwa aktivitas memberikan fatwa hukum pada mulanya lebih banyak dimunculkan oleh ulama secara personal, independen dari kontrol negara. Ulama yang mengeluarkan fatwa adalah orang yang secara personal diakui memenuhi standar keilmuan (knowledge) dan ketaqwaan / keasalehan (piety). Pada perjalanan sejarah selanjutnya, beberapa mufti menjadi anggota administrasi peradilan dan aktivitas pemberian fatwa bersifat umum dan resmi. Pada masa Umayyah (661-750 M) mufti mulai melayani konsultasi hukum para qadhi dan mengeluarkan fatwa bila diminta oleh para gubernur.[6]
Dalam proses perkembangan terkini, fatwa lebih banyak muncul dari lembaga-lembaga fatwa hukum Islam yang memberikan fatwa secara institusional. Untuk menyebut beberapa contoh antara lain; Dâr al-Iftâ’ (Lembaga Fatwa) yang bermarkas di Mesir, al-Lajnah al-Dâ’imah li al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ’ (Lembaga Pengkajian Ilmiah dan Fatwa) sebuah lembaga resmi di Arab Saudi yang diberi kepercayaan untuk mengeluarkan fatwa, Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI), Dewan Hisbah Persis, Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Forum Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama (NU).
Para ahli hukum Islam telah menentukan beberapa persyaratan untuk seseorang yang dapat dianggap memiliki otoritas untuk memberikan fatwa. Para mufti, selain harus memenuhi persyaratan, juga harus memiliki beberapa kriteria tambahan yakni; mengetahui peristiwa yang dimintakan fatwa kepadanya, mempelajari psikologi mustafti dan kondisi masyarakat dimana mustafti tadi hidup.[7]
Mufti, selain harus memiliki perangkat ilmu utama seperti bahasa Arab, al-Qur’an, ulum al-qur’an, hadits, ulum al-hadits, Ushûl al-fiqh, fiqh, tafsir, mengetahui ijma’ ulama’ dan sebagainya, ia harus memahami seperangkat ilmu bantu yaitu ilmu-ilmu sosial seperti; psikologi, sosiologi dan sebagainya. Demikian pengertian yang dapat ditangkap dari apa yang dikatakan Abu Zahrah.
Sejauh mengenai persyaratan seorang mufti, penting kiranya menyimak kata-kata Imam Ahmad bin Hanbal yang dikutip oleh Abu Zahrah :
“Seseorang tidak layak untuk menempatkan dirinya sebagai pemberi fatwa sehingga ia memiliki lima hal ; pertama niyat yang baik, tanpa adanya niyat yang baik maka tak akan ada nur (cahaya), kedua memiliki ilmu yang cukup, lapang dada, dan ketenangan, ketiga, memiliki kekuatan untuk mempertahankan pendapatnya dan pengetahuannya, keempat, memiliki kecukupan, kelima, memahami manusia.”[8]
Menurut hemat penulis, persyaratan itu tidak berlebihan karena dengan tujuan untuk menghindari kecerobohan dalam memutuskan suatu persoalan hukum. Setidaknya, seperangkat ilmu utama dan ilmu bantu itu dapat memberikan penjelasan yang lebih komprehensip terhadap latar belakang suatu fatwa. Karena, meskipun fatwa tidak memiliki kekuatan memaksa kepada siapapun, tetapi dalam realitasnya fatwa memiliki pengaruh kuat terhadap masyarakat muslim dalam mensikapi suatu peristiwa.

II. APA ITU OTORITARIANISME?

Otoritarianisme (authoritarianism) berasal otoritarian (authoritarian) yang berarti sifat menganut paham kepatuhan mutlak kepada seseorang.[9] Paham seperti itu menyelipkan makna terjadinya kesewenang-wenangan dari orang yang bertindak otoriter. Dalam tulisan ini, konsep otoritarianisme yang dimaksudkan adalah merujuk pada konsep yang diintrodusir oleh Khaled Abou al-Fadl.[10] Seseorang yang mendekati teks yang otoritatif (al-Qur`an dan al-Sunnah) dapat dikategorikan melakukan tindakan “otoritarianisme” jika ia telah “merasa” menyatu dengan teks tersebut dan kemudian menyatakan suatu ketetapan makna yang tertutup dari pembacaan lain.[11] Dalam ungkapan lain, jika seseorang dalam penetapan makna suatu teks membatasi ketidaktetapan maknanya atau membatasi ketergantungan terhadap maksud pengarang sebagai sumber makna, maka hal itu dapat disebut sebagai bentuk otoritarianisme. Selain itu, bahwa penolakan terhadap kemungkinan adanya interpretasi yang melibatkan pengaruh dan unsur-unsur luar dan kegigihan mempertahankan interpretasi yang tidak memasukkan unsur dari luar juga dapat dipandang sebagai otoritarianisme.[12] Jika seorang mufti melakukan pembacaan secara otoriter terhadap teks maka akan melahirkan suatu fatwa yang otoriter (sewenang-wenang). Fatwa Otoriter harus dibedakan dengan fatwa yang otoritatif, artinya fatwa yang memang lahir dari hasil pemikiran para mufti yang memiliki otoritas penuh untuk melakukannya. Disebut fatwa yang otoritatif jika lahir dari mufti yang memiliki otoritas yang melandasi diri dengan :kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan, dan rasionalitas.[13]
Menurut hemat penulis, untuk menilai apakah suatu fatwa memiliki karakter otoriter atau otoritatif, selain melihat pada ranah landasan epistemologisnya juga melihat pada aspek-aspek historis maupun sosiologis. Dalam kerangka itu kita akan menilai beberapa contoh fatwa dalam bughyat al-mustarsyidin.

III. MEMBACA KECENDERUNGAN OTORITARIANISME FATWA DALAM BUGHYAH.
Berikut analisis terhadap dua contoh fatwa yang terdapat dalam bughyah untuk mengetahui kecenderungan otoritarianisme tadi.
1. Fatwa “Tertutupnya Pintu Ijtihad”.
Salah satu fatwa yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah fatwa tentang tertutupnya pintu ijtihad. Berikut pernyataan shahib al-bughyah ( pengarang kitab bughyah ):
“istimbat al-ahkam dari al-Kitab maupun al-Sunnah (secara langsung –pen.) sebagaimana yang telah dilakukan oleh para mujtahid mutlaq telah terhenti. Pendapat al-Suyuthi bahwa ijtihad seperti itu masih berlaku hingga akhir jaman karena berpegang pada hadits “sesungguhnya Allah akan mengutus orang yang kan memperbaharui agamaNya dalam setiap seratus tahun”. Pendapat seperti itu tertolak karena yang dimaksud dengan orang yang memperbaharui agamaNya adalah orang yang menetapkan syari’at dan hukum bukan mujtahid mutlaq. Jikalau ada orang yang berani mengklaim dirinya melakukan ijtihad, ia harus segera kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan pendapat yang batil itu”[14]
Kemudian ia mengutip Ibnu Shalah, bahwa taqlid kepada selain Imam yang empat (Abû Hanifah. Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal –pen.) tidak diperbolehkan meskipun hanya untuk diamalkan sendiri, apalagi untuk memutuskan perkara di pengadilan (qadha’). Argumentasi yang dikemukakan adalah bahwa selain madhhab yang empat, seperti madhhab Zaidiyyah yang dinisbatkan pada Imam Zaid bin Ali bin al-Husain, walaupun Zaid adalah seorang imam tetapi ia banyak melakukan tasahul (negligence: sembrono, alpa) dalam banyak hal. Tidak demikian halnya dengan Imam-Imam madhhab yang empat, mereka benar-benar mengerahkan semua kemampuannya dalam menuliskan pendapat mereka sehingga terbebas dari kesalahan karena mereka mengetahui yang sahih dan yang da’if.[15]

Kutipan fatwa di atas mengandung dua pokok permasalahan yang difatwakan; pertama, tentang terputusnya hak untuk berijtihad setelah masa keemasan sejarah hukum Islam; kedua, sebagai akibatnya setiap muslim hanya boleh ber-taqlid kepada salah satu diantar empat madhhab sunni ( madhhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali )
Pada pokok masalah yang pertama, secara sekilas memberikan kesan bahwa hukum Islam telah menjadi benda mati yang tidak dapat berkembang lagi. Penegasan bughyah atas terhenti dan ketiadaan hak bagi siapapun untuk merumuskan kembali hukum Islam dalam konteks kekinian menjadi pemicu adanya kejumudan dalam pemikiran hukum Islam.
Dalam perspektif historis, fatwa ini bukan merupakan produk hukum yang tiba-tiba, melainkan sebuah titik dari serangkaian kondisi intelektualitas pada masanya. Menurut sejarawan, proses pembentukan Hukum Islam (formative periode) telah berakhir sekitar akhir abad ke-3 H (abad ke-9 M). Setelah itu yang terjadi adalah “tertutupnya pintu ijtihad” (insidad bab al-ijtihad). Anggapan itu setidaknya diwakili oleh Joseph Schacht yang mengatakan:
“pada awal abad ke-4 H, satu titik telah tercapai dimana para ‘ulama madhhab merasa bahwa persoalan (hukum) yang penting telah dibahas dan telah ditetapkan semuanya. Suatu konsensus secara garis besar telah menetapkan suatu pengaruh bahwa sejak masa itu dan seterusnya tak ada seorangpun yang dapat dianggap mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad. Aktivitas masa selanjutnya hanyalah memberikan penjelasan-penjelasan (sharh), penerapan-penerapan (hukum), dan paling banter hanyalah melakukan interpretasi terhadap doktrin yang telah ditetapkan sebelumnya. Penutupan pintu ijtihad (the closing of the door of ijtihad) kemudian lebih menuntut sikap taqlid”.[16]

Klaim atas tertutupnya pintu ijtihad itu dalam realitas sejarah sebenarnya tidak terbukti. Setidaknya kita dapat melihat pada temuan fakta yang diungkapkan oleh Waell B. Hallaq[17]:
“studi yang sistematis dan kronologis terhadap sumber-sumber hukum yang orisinil menunjukkan bahwa pandangan yang mengatakan pintu ijtihad telah tertutup adalah tidak berdasar dan tidak akurat.”
Dari hasil studinya, ia berkesimpulan bahwa; pertama, ahli-ahli hukum (jurists) yang mampu berijtihad masih ada pada setiap masa. Kedua, Ijtihad juga tetap dipakai dalam pengembangan hukum Islam setelah masa pembentukan madhhab-madhhab. Namun, studi ini juga telah membuktikan bahwa orang-orang / kelompok yang menentang “tertutupnya pintu ijtihad” akhirnya dikeluarkan dari kelompok sunni”.[18]
Poin terakhir dari apa yang diungkapkan oleh Hallaq patut untuk digaris bawahi, orang-orang / kelompok yang menentang “tertutupnya pintu ijtihad” akhirnya dikeluarkan dari kelompok sunni”. Jika temuan Hallaq ini benar, maka dapat dipastikan bahwa diskursus “tertutupnya pintu ijtihad” sebenarnya bukan sekedar proses historis yang menampilkan gejala kejumudan intelektual yang alamiah melainkan telah menjadi idiologi intelektual kaum sunni. Idiologi ini telah menghegemoni kesadaran para ulama’ sunni pada masa itu, sehingga mengalahkan otoritas sunnah Nabi yang menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad, seorang yang akan melakukan pembaruan agamaNya”.[19]
Meminjam teori Pierre Bordieu[20], idiologisasi wacana merupakan proses yang melekat pada semua bentuk pemikiran yang melibatkan diri si pembicara untuk memihak. Pemihakan itu dilakukan dengan menyembunyikan kenyataan-kenyataan historis yang benar-benar dihayati oleh umat Islam yaitu dalam hal ini pentingnya melakukan pembaharuan yang meniscayakan ijtihad. Akibat yang sangat penting dari idiologisasi wacana ini adalah terjadinya kekerasan simbolik dalam dunia intelektual.
Wujud dari kekerasan simbolik itu adalah pada otoritarianisme fatwa bughyah yang menutup kemungkinan terjadinya pemahaman ulang terhadap syari’at padahal sunnah Nabi tadi sebenarnya telah memberikan kemungkinan terjadinya pembaharuan (tajdid) pemahaman dalam agama termasuk dalam ranah hukum Islam. Pembaharuan itu tentu saja meniscayakan adanya ijtihad dari masa ke masa.
Mengenai hadits tadi, meskipun para ulama’ memperselisihkan makna 'ala ra'si kulli mi'ati sanah, apakah harus pada awal atau akhir suatu abad dalam kaitannya dengan kemunculan mujaddid,[21] yang pasti hadits tadi mempertegas pentingnya tajdid dan ijtihad, dan merupakan landasan teologis-normatif yang eksplisit untuk keduanya. Dari hadits tersebut Al-Maududi [22] maupun al-So'idi [23] berpandangan sama tentang tidak adanya batasan jumlah mujaddid yang muncul dalam setiap abad. Pandangan ini didasarkan pada pendekatan bahasa bahwa kata man (dalam bahasa Arab) digunakan untuk menyebut satuan maupun jamak. Pandangan seperti itu mengindikasikan bahwa gerakan tajdid dapat dimotori oleh mujaddid secara individual maupun kelompok orang atau organisasi.
Sampai di sini, dapat dikatakan bahwa hadits Abû Dawud tersebut secara tegas memberikan legitimasi teologis terhadap keabsahan untuk melakukan pembaruan pemahaman ajaran Islam dalam upaya mengimplementasikannya sesuai tuntutan perkembangan jaman. Walaupun hadits tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda tetapi kandungan dasar di dalamnya adalah tetap konstan. Artinya, hadits tersebut dapat dipahami sebagai isyarat bahwa masyarakat muslim secara bertahap dalam setiap kurun waktu seratus tahun dianggap telah melakukan penyimpangan-penyimpangan dan meninggalkan jalan yang telah diterapkan oleh al-Qur'an dan al-Sunnah sehingga diperlukan kehadiran mujaddid untuk mengusahakan suatu kelahiran kembali semangat Islam yang segar. Hal ini sejalan dengan tesis John O. Voll yang mengklaim bahwa tajdid bisa jadi sebagai jawaban terhadap rusaknya kehidupan beragama.[24]
Jadi cara penyegaran pemahaman beragama yang merupakan salah satu aspek pembaruan itu memiliki dimensi moral yang mendasar karena dalam pengertian tertentu ia didasari oleh pengetahuan tentang pencarian kehendak ilahi yaitu bertitik tolak dari patokan baku yang diyakini akan tetap ada dalam suatu bentuk yang tak pernah berubah; al-Qur'an dan al-Sunnah.
Ditinjau dari sudut epistemologis, proses pemahaman ulang terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi baru, hakekatnya merupakan proses negosiasi makna oleh pembaca terhadap teks. Lebih dari itu, pembaharuan pemahaman yang mengharuskan ijtihad juga merupakan konsekwensi logis dari karakteristik ajaran Islam yang universal (syumul). Universalitas ini sesuai dengan misinya sebagai rahmat bagi seluruh alam dan seisinya sebagaimana firman Allah, "Dan tidaklah Kami mengutus Engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam".[25]
Menurut hemat penulis, dalam pokok masalah yang kedua, yaitu bahwa setiap muslim harus ber-taqlid kepada para imam yang empat mencerminkan hasrat kuat untuk mewujudkan ortodoksi hukum Islam. Dengan teori naqd al-nash (kritik teks), fatwa ini harus diposisikan dalam proses dialektika wacana. Di samping secara epistemologis tidak ada argumentasi yang mempunyai kekuatan ilmiah karena tidak didukung oleh dasar-dasar otoritatif yang memperkuatnya yang oleh karenanya masih harus dilakukan uji verifikasi terhadap pendapat tersebut, fatwa itu dengan semua lingkar konsentriknya sangat jelas memberikan pesan adanya pertarungan simbolik antara orto-doxa dan hetero-doxa.
Lagi-lagi meminjam Bourdieu [26], ortodoxa adalah simbol dari wacana dominan (yaitu empat madhhab sunni) dan heterodoxa adalah simbol dari wacana marginal (di luar wacana dominan) yang memiliki potensi bertentangan dengan doxa yang telah menghegemoni nalar sehingga diterima sebagai kebenaran dan tak pernah lagi dipertanyakan lagi sebab-sebabnya apalagi kebenarannya. Antara dua wacana itu (wacana dominan dan wacana marjinal) selalu terjadi pertarungan simbolik yang tak pernah berakhir. Wacana dominan selalu berusaha mempertahankan kekuasaannya yaitu dominasinya terhadap massa sedangkan wacana marginal selalu memperjuangkan diri untuk mengetengah bahkan menghancurkan tatanan doxa dan siap mengambil posisinya.
Dengan melakukan kritik teks sekaligus menggabungkannya dengan teori konflik simbolik, dapat direkonstruksi pertarungan simbolik di balik fatwa tadi. Di wilayah Hadramaut yang penduduknya dominan bermadhhab sunni –khususnya Syafi’iyyah— telah menciptakan struktur keberagamaan yang menguntungkan para tokoh agamanya (ulama). Ulama’ yang diuntungkan secara struktural dapat dipastikan akan mempertahankan status-quo dengan memproteksi simbol-simbol keberagamaan ortodoks sunni dari invasi simbolik di luar main-stream.
Dalam perspekstif lain fatwa mengenai “tertutupnya pintu ijtihad” dapat dianggap sebagai salah satu penyebab penting terjadinya involusi [27] fiqh (hukum Islam). Ketiadaan ijtihad memunculkan tradisi penulisan dalam bidang fiqh yang berkisar antara aktivitas memberi syarh (pembabaran) dan aktivitas sebaliknya, menulis mukhtashar (ringkasan). Ukuran kesempurnaan penguasaan ilmu adalah pada buku-buku lama yang dianggap telah memiliki standar (mu’tabar) bukan pada pengembangan ilmu dan orang tidak berani berpikir independen dan melepaskan diri dari otoritas. Dengan demikian, perkembangan hukum Islam seperti jalan di tempat.
Memang harus disadari bahwa kemungkinan fatwa tertutupnya pintu ijtihad muncul karena didorong oleh kehawatiran terhadap masuknya orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid padahal mereka sebenernya tidak memiliki kualifikasi mujtahid. Namun, kehawatiran seperti ini terlalu berlebihan. Justru dengan fatwa tertutupnya pintu ijtihad berarti sama dengan mengharamkan orang-orang yang mampu untuk berijtihad, sehingga masalah-masalah yang muncul tidak dapat diselesaikan hingga akar-akarnya.
Oleh karena itu, sikap yang terbaik dalam konteks ini menurut Yusuf al-Qardhawi adalah dengan membuat garis yang benar. Sekarang sudah tidak mungkin lagi untuk menutup pintu ijtihad. Namun demikian seorang yang berijtihad pada saat ini harus berpegang pada kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang mengatur jalan, tujuan dan menetapkan metodenya sehingga tidak terlalu ekstrim, akan tetapi berupaya meraih manhaj yang moderat untuk kepentingan ummat yang memang menyandang gelar moderat (ummatan wasatha).[28]

2. Fatwa tentang “Pernikahan Syarîfah”
Syarîfah merupakan sebutan simbolik yang berkonotasi superior untuk anak perempuan dari garis laki-laki yang memiliki hubungan darah hingga Nabi Muhammad Saw. Sedangkan anak laki-laki disebut dengan syarif , sayyid atau habib.[29]
Fatwa yang cukup unik sekitar pernikahan golongan ini dalam bughyah adalah sebagai berikut: [30]

“ Seorang syarîfah yang dilamar oleh seorang yang bukan syarif menurut pendapatku tidak boleh untuk menikah meskipun syarifah maupun wali-nya rela ( ridho ) karena nasab yang benar-benar mulia ini tidak terbandingi. Setiap keturunan al-Zahra’ ( Fatimah al-Zahra’ –pen.) baik (kerabat) dekat maupun jauh memiliki hak untuk diminta ridhonya (dalam hal syarifah menikah dengan selain syarif –pen.). Pernah terjadi suatu kasus di Makkah al-Mukarramah, seorang laki-laki Arab ( bukan syarif ) menikah dengan seorang syarifah. Para sayyid yang didukung oleh para ulama di sana memaksa laki-laki tersebut untuk menceraikannya. Kasus yang sama terjadi pula di wilayah-wilayah lain. Para syarif banyak menulis tentang ketidak bolahan perkawinan semacam itu, bahkan merebut dengan paksa syarîfah ( yang telah dinikahi oleh laki-laki non-syarif –pen.) dengan alasan melindungi nasab dari kehinaan dan kenistaan.

Selanjutnya Shâhib al-Bughyah mengkritik para fuqaha’ yang menganggap sah perkawinan semacam itu dengan syarat adanya ridho dari syarifah dan walinya. Ia menganggap bahwa para fuqaha’ tidak bisa menagkap dan mengerti tentang rahasia-rahasia yang ada di balik pelarangan pernikahan semacam itu.

Beberapa poin yang penting dicermati dalam fatwa tadi sebagai berikut :
a. Shahib al-bughyah mendikhotomikan “kelas” manusia berdasarkan nasab : syarif – non syarif ( feminin : syarifah – non syarifah ).
b. Seorang laki-laki non-syarif tidak boleh menikahi wanita syarifah dengan alasan utama menjaga kemuliaan nasab agar terjaga dari kehinaan dan kerendahan. Sebaliknya seorang syarif boleh menikah dengan perempuan manapun baiuk dari golongan syarifah maupun non-syarifah.
c. Komunitas syarif dapat memiliki hak untuk menceraikan secara paksa bila terjadi pernikahan antara syarifah dan non-syarif.

Teks fatwa tadi sebenarnya merupakan akumulasi dari beberapa hal yang melatarbelakanginya dan menjadi basis nilainya. Kita dapat menganalisis beberapa hal penting berikut.
Secara terus terang harus dikatakan bahwa basis epistemologi fatwa ini sangat lemah. Epitemologi hukum Islam dalam fatwa ini dibangun berdasarkan angan-angan tentang rahasia yang terkandung dalam pelarangan pernikahan syarifah dengan non-syarif. Argumentasi kemuliaan nasab yang menjadi dasar utama “pengharaman” pernikahan itu merupakan wujud dari otoritarianisme penafsiran terhadap teks-teks agama. Para syarif sering berargumentasi tentang kemuliaan dan kesucian nasab dengan mengambil QS. al-Ahzab :33.[31] Penafsiran dan pemahaman atas ayat ini telah mengalahkan otoritas teks ayat itu sendiri.
Dengan upaya pemahaman yang lebih komprehensip, keseluruhan ayat yang berbicara tentang konsep manusia, tidak ada satupun ayat yang meligitimasi adanya superioritas ras, suku, bangsa atau kelompok tertentu. Nilai lebih akan diberikan kepada manusia hanya karena kesalehan atau ketaqwaan.(QS. Al-Hujurat : 13). Kisah-kisah tentang sejarah anak manusia yang disajikan oleh al-Qur’an memberikan inspirasi terhadap kesamaan nilai-nilai humanistik. Kan’an, meskipun secara genealogi-biologis adalah putra Nabi Nuh, tidak diberi prevelege apapun oleh karena tidak memiliki human-quality menurut standar syari’at. (QS.Hud : 40 – 47). Tulisan ini tidak akan berdiskusi tentang tafsir, tetapi setidaknya diskusi yang sedikit ini menjadi kunci pembuka simpul otoritarianisme interpretasi yang berakibat pada suburnya feodalisme sosial paling tidak dalam kasus ini. Jadi singkatnya, interpretasi simbol agama menjadi penyokong tradisi.
Bagaimanapun, harus diakui bahwa apa yang mereka lakukan adalah bagian dari dinamika interaksi manusia dengan simbol-simbol agamanya. Menurut Turner [32], karakteristik simbol antara lain adalah multivokal dan polarisasi. Multivokal artinya menunjuk pada banyak arti. Disebabkan mengandung banyak arti maka simbol menjadi sangat mungkin memiliki multi-interpretasi bahkan dalam batas-batas tertentu mengalami pertentangan arti. Inilah yang dimaksud dengan polarisasi simbol, karena pada hakekatnya simbol bersifat arbriter. [33]
Berkaitan dengan persoalan perkawinan, agama Islam yang dianut para orang Arab telah menyediakan banyak simbol. Jadi, tradisi pemilihan jodoh dalam perkawinan yang bersifat diskriminatif itu juga menjadi faktor memiliki dependensi pada pilihan-pilihan simbol yang digunakan untuk melegitimasinya. Para syarif dan non-syarif atau siapapun berkedudukan sama dalam menentukan pilihan-pilihan simbol untuk selanjutnya menginterpretasikannya. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah ketika interpretasi telah menjadi idiologi !.
Idiologisasi ini sangat mungkin terjadi karena agama menyediakan system simbolis yang dapat digunakan sebagai pembenar dalam pembentukan nilai-nilai religius[34]. Namun demikian idiologisasi ini hanya akan terjadi sepanjang para pembentuk tafsir bersikeras menggunakannya untuk mempertahankan eksistensi individu dan kelompok sosialnya, dan ini yang terjadi pada komunitas Arab.
Dalam kacamata sosisologi, kelompok syarif sebagai sebuah sub-struktur sosial telah “mendefinisikan” dirinya dengan kesadaran yang penuh sebagai kelompok yang secara struktur lebih tinggi dari yang lain dan secara terus terang mengkonstruksi intern komunitas Arab dalam herarki kelas yang feodalistik atas dasar superioritas genealogi-biologis ( nasab ).
Parahnya, pendefinisian struktur dan kelas yang secara sadar itu dilegitimasi oleh simbol-simbol agama yang ditafsirkan secara otoriter dan terkadang tanpa didukung oleh otoritas yang memadai. Simbol-simbol agama yang berupa teks-teks sakral atau tepatnya interpretasi-interpretasi otoriter itu menjadi penyokong lestarinya tradisi yang memunculkan tindakan sosial yang diskrimantif. Inilah sebenarnya yang menjadi basis nilai dalam tradisi perkawinan komunitas Arab kelompok syarif yang menjadi persoalan penting untuk di diskusikan secara intens.
Adanya upaya pengerahan legitimasi simbol agama terhadap tradisi ini semakin meneguhkan asumsi bahwa sistem pernikahan syarîfah yang tertutup itu, merupakan bias dari subjektifitas penafsiran mereka terhadap simbol-simbol keagamaan yang mewujud dalam teks-teks ayat maupun hadits nabi saw.
Dalam perspektif lain perkawinan itu merupakan simbol dari pernyataan “identitas-komunal” yang meniscayakan adanya politik-identitas. Itulah yang oleh Barth [35] disebut sebagai teori batas-etnis. Sangat boleh jadi, sistem perkawinan etnis Arab tadi merupakan perwujudan dari upaya pembatasan otoritas etnisnya dari intervensi dan pengaruh etnis lainnya.
Politik identitas merupakan idiom yang menjiwai tradisi perkawinan komunitas Arab sekaligus melengkapi basis nilainya. Menurut Barth setiap kategori etnis dapat dihubungkan dengan berbagai standar nilai.[36] Makin besar perbedaan antara nilai standar itu, maka tingkat pembatasan kelompok etnik akan semakin tegas dan jelas. Dalam kerangka inilah komunitas syarif melestarikan tradisi perkawinan yang tertutup (endogamy). Dengan demikian, ditinjau dari kacamata sosial, kelompok syarif sebagai entitas etnik dapat dipandang sebagai suatu sebuah sitem tata-sosial yang otonom.
Otonomi tata-sosial itu semakin menguat ketika individu-individu dalam komunitas itu selalu berusaha membatasi diri untuk tidak berprilaku menyimpang –lagi-lagi dengan penuh kesadaran -- karena khawatir perilaku itu akan merusak citra identitas kelompoknya.
Dengan tata-sosial otonom yang dipelihara oleh komunitas Arab syarif, setiap anggota kelompoknya berusaha mempertahankan identitas etniknya. Dalam sistem semacam itu, hukuman bagi seorang yang melanggar nilai-nilai etnik akan datang tidak hanya dari lingkungan sosialnya yang terkecil, keluarga melainkan juga dari dalam kelompok yang lebih luas, yaitu komunitas syarif secara makro.
Latar belakang yang terpenting dari fatwa itu adalah sistem kekerabatan para syarif dan masyarakat Arab pada umumnya yang patrilinial. Artinya, kekerabatan melalui garis keturunan (geneologi) laki-laki. Keberadaan seseorang dalam komunitas dilihat dari garis ayah. Garis ayah menguasai penggantian dan pemberian marga. Garis keturunan ibu tidak diperhitungkan dalam konteks perkawinan. Kalau seorang laki-laki bermarga al-‘Atas menikah dengan seorang wanita bermarga al-haddad, maka anak yang terlahir dari pasangan itu bermarga al-‘Attas. Demikian pula jika seorang laki-laki bermarga al-‘attas menikah dengan perempuan biasa tidak memiliki marga maka anak yang lahir dari perkawinan mereka “mendapat” marga al-‘attas. Tetapi jika perempuan bermarga al-‘Attas menikah dengan laki-laki yang tidak bermarga, maka anaknya menjadi “kehilangan” marga ibunya.
Sistem kekerabatan ini memiliki implikasi-implikasi terhadap tata-nilai dalam kehidupan mereka, termasuk tata nilai dalam fiqh munakahat. Laki-laki Arab, secara normative boleh menikah dengan perempuan manapun karena tidak beresiko “kehilangan” marga bagi anak mereka.
Dengan demikian, sebenarnya fatwa mengenai terlarangnya anak perempuan mereka dinikahi seorang yang bukan dari golongan syarif lebih dekat kepada adat istiadat Hadramaut yang telah mengakar. Bahkan menurut Berg [37], seorang kepala suku yang paling berpengaruh pun tidak mungkin memperistri putri sayyid ( syarif ), apalagi putri dari keluarga al-Masyhur (gelar dari pengarang Bughyah).

IV. Simpulan.
Dari pembacaan terhadap fatwa-fatwa tersebut diperoleh simpulan besar sebagai berikut:
Pertama, pembacaan sebuah fatwa hukum Islam dalam perspektif yang luas dapat membantu kita untuk memamahinya secara proporsional untuk menentukan penilaian apakah fatwa itu otoritatif ataukah otoriter.
Kedua, uraian di atas menunjukkan bahwa otoritarianisme fatwa khususnya (dan otoritarianisme penafsiran teks-teks agama otoritatif pada umumnya) harus dihindarkan karena hal itu akan menciderai otoritas teks agama yang justru memiliki watak multi-interpretasi. Dalam ungkapan lain bisa dikatakan bahwa membatasi hak pemahaman agama hanya kepada generasi periode tertentu, itulah tidakan otoritarianisme yang sesungguhnya.

Wallahu a’lam.


Daftar Bacaan

Abdul Muta’al al-Sho’idi, Al-Mujaddidun Fi al-Islam,Dar al-Hamami : t.t.
Abdurrahman bin Muhammad bin Husain al-Hadhrami,Bughyat al-Mustarsyidin, Beirut : Dar al-Fikr,1995.
Abû al-A’la al-Maududi, A Short History of The Revivalist Movement in Islam, terj. Al-Ash’ari, Lahore : Islamic Publications Limited, 1981.
Abû al-Tib al-Azim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Sharh Sunan Abi Dawud, vol. XI, (Beirut : Dar al-Fikr, 1979).
Ali Bin Ahmad al-Wahidi,Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân, Kairo : Dar al-Kitab al-Jadid, 1969.
Arthur Asa Berger,Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer: Suatu Pengantar Semiotika, terj. M.Dwi Mariyanto dkk, Jogjakarta: Tiara Wacana, 2005.
Barth, Fredrik, Kelompok Etnik dan Batasanny,Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan,terj. Nining I.Soesilo, Jakarta:Universitas Indonesia Press, 1988.
Haryatmoko,”Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bordieu” dalam Majalah Dua Bulanan Basis, No.11-12 Tahun ke-52, November –Desember 2003, hal. 20 dan seterusnya.
Ibrahim Anis dkk, al-Mu’jam al-Wasîth, Kairo: t.p, 1972.
J.N.D. Anderson,Law Reform in The Muslim World,London,1976.
JB. Sudarmanto, Agama dan Idiologi, Jakarta: Penerbit Kanisius,1987.
John O. Voll, “Revivalism and Social Transformation in Islam”, dalam The Muslim World (1989), 172.
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford: Oxford University Press,1964.
Khaled Abou al-Fadl, Atas Nama Tuhan : Dari Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta : Serambi,2004.
Khaled Abou al-Fadl, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-Wenang dalam Wacana Islam, terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta : Serambi,2003.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, Jakarta : Teraju Mizan, 2004.
Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, t.tp.: Dar al-Fikr al-‘Arabi,t.th.
Muhammad Khalid Mas’ud dkk.,”Mufti, Fatwas, and Islamic Legal Interpretation,” dalam Islamic Legal Interpretation, Muftis and Their Fatwas, (eds. Muhammad Khalid Mas’ud, Brinkley Messick, David S. Powers), Amerika : Harvard University Press, 1996.
N.J. Coulson, A History of Islamic Law,Edinburgh,1964.
Van Den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta : INIS, 1989.
Victor Turner, Masyarakat Bebas Struktur, di sadur oleh Winangun, YW. Wartaya, Jogjakarta: Kanisius.1990.
Waell B. Hallaq,” Was The Gate of Ijtihad Closed?”, dalam International Journal Middle East Study,Vol. 16 (1984).
Wahbah al-Zuhaili,Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Juz II, Beirut : Dar al-Fikr,1986.
Yusuf al-Qardhawi,Ijtihad Kontemporer, Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, Terj.Abû Barzani, Surabaya: Risalah Gusti,1995.

*===========*

[1] Makalah disampaikan dalam Diskusi Bulanan Pengurus Wilayah LAKPESDAM NU Jawa Tengah pada tanggal 01 April 2009.
[2] Ibrahim Anis dkk, al-Mu’jam al-Wasîth, Kairo: t.p, 1972, 673.
[3] Wahbah al-Zuhaili,Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Juz II, Beirut : Dar al-Fikr,1986, 1156-57.
[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, t.tp.: Dar al-Fikr al-‘Arabi,t.th., 401.
[5]Muhammad Khalid Mas’ud dkk.,”Mufti, Fatwas, and Islamic Legal Interpretation,” dalam Islamic Legal Interpretation, Muftis and Their Fatwas, (eds. Muhammad Khalid Mas’ud, Brinkley Messick, David S. Powers), Amerika : Harvard University Press, 1996, 3.
[6] Ibid.,8-9.
[7] Abu Zahrah,Ushûl, 401.
[8]Ibid.
[9] Lihat John M. Echols &Hassan Shadily,Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia,2006, h. 46.
[10] Ia memperkenalkan istilah itu dalam buku ini berjudul Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-Wenang dalam Wacana Islam, terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta : Serambi,2003. dan Atas Nama Tuhan : Dari Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta : Serambi,2004.
[11] Khaled Abou al-Fadl, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Yang Sewenang-Wenang dalam Wacana Islam, terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta : Serambi,2003, h. 96.
[12] Khaled Abou al-Fadl, Atas Nama Tuhan : Dari Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta : Serambi,2004.Ibid.204.
[13] Ibid, h. 100-101.
[14] Abdurrahman bin Muhammad bin Husain al-Hadhrami,Bughyat al-Mustarsyidin, Beirut : Dar al-Fikr,1995, hal. 6.
[15] Ibid., 7.
[16] Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Oxford University Press,1964), 70-71. Tesis-tesis yang senada dengan pendapat Schacht dapat dilihat antara lain dalam N.J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh,1964), 81 dan J.N.D. Anderson,Law Reform in The Muslim World (London,1976), 7.
[17] Lihat Waell B. Hallaq,” Was The Gate of Ijtihad Closed?”, dalam International Journal Middle East Study,Vol. 16 (1984),10.
[18] Ibid.
[19] Abû al-Tib al-Azim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Sharh Sunan Abi Dawud, vol. XI, (Beirut : Dar al-Fikr, 1979), 385.
[20] Pierre Bordieu (1930-2002) adalah sosiolog berkebangsaan Prancis. Baca Haryatmoko,”Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bordieu” dalam Majalah Dua Bulanan Basis, No.11-12 Tahun ke-52, November –Desember 2003, 20.
[21] Abû al-A’la al-Maududi, A Short History of The Revivalist Movement in Islam, terj. Al-Ash’ari (Lahore : Islamic Publications Limited, 1981), 33.
[22]Ibid., 34.
[23] Abdul Muta’al al-So’idi, Al-Mujaddidun Fi al-Islam (Dar al-Hamami : t.t.), 5 – 7.
[24] John O. Voll, “Revivalism and Social Transformation in Islam”, dalam The Muslim World (1989), 172.
[25] QS. Al-Anbiya’ (21) : 107.
[26] Tentang teori otrodoxa dan heterodoxa Pierre Bourdieu dapat dibaca tulisan Suma Riella Rusdiarti “Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan” dalam Majalah Dua Bulanan Basis,30.
[27] Involusi adalah gejala perkembangan ilmu ke “dalam “ menjadi ilmu yang msemakin renik. Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, Jakarta : Teraju Mizan, 2004, 7.
[28] Yusuf al-Qardhawi,Ijtihad Kontemporer, Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan,Terj.Abû Barzani, Surabaya: Risalah Gusti,1995, 124-125.
[29] Dalam pengertian yang agak rumit Van Den Berg memberikan rincian mengenai istilah-istilah itu. Lihat Van Den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta : INIS, 1989, 23.
[30] al-Hadhrami,Bughyat, 132.
[31] انما يريد الله ليذهب عنكم الرجس اهل البيت ويطهركم تطهيرا
[32] Victor Turner, Masyarakat Bebas Struktur, di sadur oleh Winangun, YW. Wartaya, Jogjakarta: Kanisius.1990,19
[33] Arthur Asa Berger,Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer: Suatu Pengantar Semiotika, terj. M.Dwi Mariyanto dkk, Jogjakarta: Tiara Wacana, 2005.
[34] JB. Sudarmanto, Agama dan Idiologi, Jakarta: Penerbit Kanisius,1987,42.
[35] Barth, Fredrik, Kelompok Etnik dan Batasanny,Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan,terj. Nining I.Soesilo, Jakarta:Universitas Indonesia Press, 1988, 11.
[36] Ibid:19
[37] Van Den Berg,Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta : INIS,1989, 61.

Jumat, 13 Maret 2009

Rapat Kerja Lakpesdam Jateng 2009

Dalam rangka penyusunan program kerja selama 1 (satu) tahun Pengurus Lakpesdam NU Jateng menggelar rapat kerja pengurus tanggal 7 Februari 2009 di kantor PW NU Jawa Tengah Jl. Dokter Cipto No. 180 Semarang. Acara yang dibuka oleh Katib Syuriah PWNU KH. Ubaidullah Shodaqoh, SH, tersebut dihadiri oleh seluruh pengurus wilayah Lakpesdam NU Jawa Tengah. Rapat kerja yang berlangsung selama 1 (satu) hari penuh menghasilkan beberapa program kerja yang diagendakan untuk dilaksanakan pengurus wilayah Lakpesdam Jateng, antara lain ; diskusi bulanan, Halaqoh, Workshop, perebitan news letter, dan lain sebagainya.

SUSUNAN PENGURUS PW LAKPESDAM JATENG 2008-2013

Susunan Pengurus Wilayah Lakpesdam NU Jateng
Tahun 2008-2013

PEMBINA :
1. ROIS SYURIAH PWNU JAWA TENGAH
2. KETUA TANFIDZIYAH PWNU JAWA TENGAH

KETUA :
Drs.H. KHOIRUL ANWAR, M.Ag

WAKIL KETUA :
Drs. H. ADIB FATHONI, M.Si

SEKRETARIS :
AGUS RIYANTO, S.IP, M.Si

WAKIL SEKRETARIS :
IMAN FADHILAH, S.HI, M.SI

BIDANG KAJIAN DAN PELATIHAN :
1. ALI FURMEN, S.Pd, M.Ed
2. Drs. HASYIM MUHAMMAD, M.Ag
3. ZUDI SETIAWAN, S.IP

BIDANG KERJASAMA KELEMBAGAAN :
1. Drs. ARIF JUNAIDY, M.Ag
2. ANDI PURWONO, S.IP, M.Si
3. ATIQ AMJADALLAH, SE

BIDANG PENERBITAN, INFORMASI DAN DOKUMENTASI
1. TEDY KHOLILUDIN, S.Ag, M.Si
2. SAFRODIN, S.Ag, M.Ag
3. MUHAMMAD NUH, S.Sos
4. HARUN, S.IP